Tuesday, November 20, 2012

Merenungi makna dibalik dzikir keluar rumah 1



Dzikir ini adalah dzikir yang mungkin telah banyak kita ketahui, telah sering kita amalkan… Ya, dzikir itu adalah dzikir keluar rumah. Namun apakah kita telah memahami kandungan yang sangat agung dibaliknya?

Perhatikanlah perkataan ibnul qayyim berikut:

“Dzikir yang paling utama dan PALING BERMANFA’AT bagi seorang hamba adalah dzkir yang serasi dan selaras antara HATI dan LISANnya. IA TAHU BENAR bahwa dzikir-dzikir tersebut termasuk yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, lalu ia MENGHADIRKAN MAKNA-MAKNA dari maksud dzikir tersebut dalam hatinya”
(Fiqhul Ad’iyyati wal adzkaar, 282; dinukil dari: Doa dan Dzikir pustaka ibn umar)

Dan juga perkataan Syaikh Abdurrazzaaq berikut:

“Merupakan kelaziman bagi setiap muslim (dalam berdzikir kepada Allah) untuk memahami maksud dan makna kalimat dzikir yang dibacanya, agar dzikirnya kepada Allah berdiri di atas dasar ilmu dan pemahaman tentang maksud kalimat dzikir yang diucapkannya.
Adapun jika seorang muslim sekedar mengulang-ngulang bacaan yang tidak dipahami maknanya, atau lafaz yang tidak diketahui maksudnya, maka ini tidak akan berbekas di hati dan faidah yang diperoleh pun lemah.

Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmui (makna) kalimat ini (demikian juga dengan kalimat dzikir lain yang diucapkannya), karena dengan itu, dzikir akan memberikan buahnya, faidahnya akan terwujud, yang berdzikir pun akan meraih faidahnya.”
[Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar:1/ 280; dinukil dari bulletin alhujjah]

Dzikir keluar rumah 

dari Anas bin Malik, ia berkata: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ
“Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
‘BISMILLAH, TAWAKKALTU ‘ALALLÅH, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH
(Dengan nama Allah; aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah).

Beliau melanjutkan:
قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ
“Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya,
 
هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ
‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan dan mendapat penjagaan’,

فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ
Hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata,

كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ
“Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan dan penjagaan.”

(HR. Abu Dawud (4/325), no. 5094, dan at Tirmidziy (5/490), no. 3427; Shahiih at Tirmidziy karya Syaikh al-Albaaniy (3/151))

Dari Ummu Salamah, beliau berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar dari rumahku kecuali beliau menghadapkan pandangannya ke langit, lalu beliau membaca dzikir:

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عليَّ
Allahumma inni a’udzu bika an adhilla aw udhilla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku atau dijahilin orang lain]”
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Misykatul Mashobih; 

Syarah Hadits

Disyarah oleh Syaikh Majdi dalam syarah hisnul muslim,
Sabda beliau:
بِسْمِ اللَّهِ
Dengan menyebut Nama Allah

Disyarhkan oleh Syaikh Madji: dengan kata lain, dengan nama Allah aku berangkat.
(Syarah Hisnul Muslim; edisi indonesia; hlm. 106)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata tentang tafsir basmallah:
“Tafsirnya adalah: Sesungguhnya seorang insan meminta tolong dengan perantara semua Nama Allah. Kami katakan: yang dimaksud adalah setiap nama yang Allah punya. Kami menyimpulkan hal itu dari ungkapan isim (nama) yang berbentuk mufrad (tunggal) dan mudhaf (disandarkan) maka bermakna umum. Seorang yang membaca basmalah bertawassul kepada Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat rahmah. Karena sifat rahmah akan membantu insan untuk melakukan amalnya. Dan orang yang membaca basmalah ingin meminta tolong dengan perantara nama-nama Allah untuk memudahkan amal-amalnya.”
(Shifatush Shalah, hal. 64;

Sabda beliau:
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ
Tawakaltu ‘alallåh
Aku bertawakkal kepada Allah

Disyarahkan oleh Syaikh Majdi, “Dengan kata lain, kuserahkan semua urusanku kepadaNya”
Kalimat yang singkat ini, memiliki arti yang luas…

Imam Al-Ghazali, beliau berkata :
“Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata”.
[Ihya' Ulumid Din, 4/259]
Al-Allamah Al-Manawi berkata :

“Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali”
[Faidhul Qadir, 5/311]

Al-Mulla Ali Al-Qari berkata :
“Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik mahluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah”.
[Murqatul Mafatih, 9/156]

Sehingga ketika kita keluar rumah: kita sandarkan hati kita kepada Allah, kita mengakui kelemahan dan ketidakmampuan kita dalam melakukan apapun, yang mana seluruh kekuatan kita kembali kepada pertolonganNya, seluruh manfaat yang kita peroleh dan seluruh mudharat yang terhindarkan dari kita adalah karuniaNya.
Ia mengetahui bahwa tidak ada yang dapat memberi manfa’at melainkan atas seizinNya, ia pun mengetahui bahwa tidak ada yang dapat memberi mudharat melainkan atas seizinNya, maka ia bertawakkal kepadaNya.
Ia mengetahui bahwa Allah Maha Adil lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan taqdir, ia mengetahui bahwa Allah Maha Teliti lagi Maha Bijaksana dalam mengurusi seluruh urusanNya, ia mengetahui bahwa kepadaNyalah kembali urusan rezeki dari seluruh makhlukNya, maka ia bertawakkal kepadaNya dalam segala urusan.
Disisi lain, bukan berarti kita bertawakkal kepada Allah, lantas berpangku tangan kepadaNya dan tidak berbuat apa-apa, yang demikian dinamakan tawakkal palsu. Tawakkal yang sebenar-benar tawakkal adalah kita MENGERAHKAN KEMAMPUAN kita untuk menggapai tujuan kita, lantas kemudian kita bertawakkal keapda Allah dalam pelaksanannya dan menyerahkan segala urusan yang akan/sedang/nanti kita hadapi kepadaNya.
Dengan demikian, adalah BERDUSTA seseorang jika ia mengatakan dirinya meminta keselamatan kepada Allah agar ia sampai ke tempat tujuannya dan ia mengaku-ngaku bertawakkal kepada Allah dengan permintaannya tersebut, lantas yang ia lakukan adalah ngebut-ngebutan dijalan. Sebagaimana BERDUSTA orang yang meminta rizki kepada Allah (dan mengaku-ngaku bertawakkal kepada Allah), tapi setelah keluarnya ia dari rumahnya ia tidak berbuat apa-apa.
Yang demikian bukanlah tawakkal yang benar. Berikut teladan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang tawakkal yang benar.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui tombakku”
(HR. Ahmad, dishahiihkan Ahmad Syaakir dan Al-Albaaniy)
Bukanlah tawakkal beliau dengan tidak mengerjakan apa-apa, kemudian menyerahkan semua urusannya kepada ar-Razzaaq (Maha Pemberi Rezeki). Padahal jika beliau mau, beliau tinggal mengadahkan tangannya ke langit kemudian memintakan rezeki. Dan adalah beliau seorang Nabi dan Rasul yang diijabahkan doanya, akan tetapi beliau tidaklah meminta agar rezeki turun dari langit tanpa ada usaha dalam menggapainya, bahkan beliau menempuh sebab-sebab datangnya rezeki.

Rasulullah juga bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Artinya : Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”
(HR. Ahmad, at Tirmidziy, Ibn Maajah, Ibn Hibban, al-Hakim; dishahiihkan imam at-tirmidziy, imama al-hakim, imam al-baghawiy, syaikh ahmad syaakir, syaikh al-albaaniy)

No comments:

Post a Comment