Saturday, July 14, 2012

73 FIRQAH UMAT MUHAMMAD S.A.W


73 FIRQAH UMAT

"Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, ”Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk Syurga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk Neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah.”

Mu’awiyah Ibnu Abu Sofyan meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam masalah agamanya terbagi menjadi 72 golongan dan dari umat ini (Islam) akan terbagi menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka, satu golongan yang akan masuk surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-Jamaa’ah. Dan akan ada dari umatku yang mengikuti hawa nafsunya seperti anjing mengikuti tuannya, sampai hawa nafsunya itu tidak memisakan anggota tubuh, daging, pembuluh darah, maupun tulang kecuali semua mengikuti hawa nafsunya. Wahai orang Arab! Jika kamu tidak bangkit dan mengikuti apa yang dibawa Nabimu…” HR.Musnad Imam Ahmad

Umat Islam terpecah menjadi 7 golongan besar iaitu:-

1. Mu'tazilah, yaitu kaum yang mengagungkan akal fikiran dan bersifat filosofis, aliran ini dicetuskan oleh Washil bin Atho (700-750 M) salah seorang murid Hasan Al Basri.

Mu’tazilah memiliki 5 ajaran utama, yakni:
1.  Tauhid. Mereka berpendapat :
o  Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri
o  al-Qur'an ialah makhluk
o  Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia

2.  Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya

3.  Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat

4.  Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik

5.  Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih

Aliran Mu’tazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya

Golongan Mu'tazilah pecah menjadi 20 golongan

2. Syiah, yaitu kaum yang mengagung-agungkan Sayyidina Ali Kw, mereka tidak mengakui khalifah Rasyidin yang lain seperti Khlifah Sayyidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan Sayyidina Usman bahkan membencinya. Kaum ini di sulut oleh Abdullah bin Saba, seorang pendeta yahudi dari Yaman yang masuk islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak mendapat perhatian dari khalifah dan umat islam lainnya sehingga ia menjadi jengkel. Golongan Syiah pecah menjadi 22 golongan dan yang paling parah adalah Syi'ah Sabi'iyah

3. Khawarij, yaitu kaum yang sangat membenci Sayyidina Ali Kw, bahkan mereka mengkafirkannya. Salah satu ajarannya Siapa orang yang melakukan dosa besar maka di anggap kafir. Golongan Khawarij Pecah menjadi 20 golongan

4. Murjiah.
·      Al-Murji’ah meyakini bahwa seorang mukmin cukup hanya mengucapkan “Laailahaillallah” saja dan ini terbantah dengan pernyataan hadits bahwa dia harus mencari dengan hal itu wajah Allah, dan orang yang mencari tentunya melakukan segala sarananya dan konsekuensi-konsekuensi pencariannya sehingga dia mendapat kan apa yang dia cari dan tidak cukup hanya mengucapkan saja. Jadi menurut al-murji’ah bahwa cukup mengucapkan “Laailahaillallah” dan setelah itu dia berbuat amal apa saja tidak akan mempengaruhi keimanannya, maka ini jelas bertentangan dengan hadits “dia mencari dengan itu wajah Allah”, maka ini adalah bentuk kesesatan al-murji’ah

·      Al-Mu’tazilah dan Al-Khawarij meyakini bahwa seorang yang melakukan dosa-dosa besar kekal didalam api neraka, dan ini terbantah dengan sabda Rasulullah “sesungguhnya Allah mengharamkan atas api neraka orang yang mengucapkan Laailahaillallah”. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwasanya pengharaman api neraka membakar orang-orang yang mengucapkan “Laailahaillallah” itu ada dua, pertama pengharaman secara mutlak dan ini bagi orang yang mengucapkan “Laailahaillallah” dengan mendatangkan seluruh syarat-syaratnya, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan-kendungannya sehingga dia terlepas dari syirik besar, syirik kecil dan perbuatan-perbuatan dosa besar, kalaupun dia terjatuh kepada perbuatan dosa maka dia bertaubat dan tidak terus menerus diatasnya, maka orang yang sempurna tauhidnya seperti ini diharamkan api neraka untuk membakarnya secara mutlak, yakni dia tidak disentuh oleh api neraka sama sekali. Kemudian yang kedua, yaitu pengharaman yang tidak mutlak dan bersifat kurang, yang dimaksud yaitu pengharaman untuk kekal didalam api neraka, ini bagi orang-orang yang kurang tauhidnya sehingga dia terjatuh kedalam syirik kecil atau dosa-dosa besar yang dia terus menerus didalamnya, maka orang yang demikian ini diharamkan atas api neraka untuk membakarnya dalam jangka waktu yang kekal selama dia belum mengugurkan tauhidnya ketika didunia. Oleh karena itu pendapat al-mu’tazilah dan al-khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal didalam api neraka, ini adalah pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah

·      Tidak ada dzikir yang lebih utama didunia ini kecuali “Laailahaillallah”

·      Salah satu sebab dikabulkannya doa adalah dengan menggunakan sifat Allah dan nama-Nya, secara khusus memanggil Allah dengan uluhiyah-Nya, meminta dan berdoa kepada Allah dengan menyebutkan rububiyah-Nya.

“Laailahaillallah” merupakan dzikir dan doa, disebut dengan doa karena orang yang mengucapkan “Laailahaillallah” mengharapkan ridha Allah dan ingin sampai kepada surga-Nya
Golongan Murjiah pecah menjadi 5 golongan

5. Najariyah, Kaum yang menyatakan perbuatan manusia adalah mahluk, yaitu dijadikan Tuhan dan tidak percaya pada sifat Allah yang 20. Golongan Najariyah pecah menjadi 3 golongan

6. Al Jabbariyah, Kaum yang berpendapat bahwa seorang hamba adalah tidak berdaya apa-apa (terpaksa), ia melakukan maksiyat semata-mata Allah yang melakukan Golongan Al Jabbariyah pecah menjadi 1 golongan
7. Al Musyabbihah / Mujasimah, kaum yang menserupakan pencipta yaitu Allah dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi. Golongan Al Musyabbihah / Mujasimah pecah menjadi 1 golonganDan satu golongan yang selamat adalah Ahli Sunnah Wal Jama'ah.

  Ahli Sunnah wal Jama'ah.

1. Pengertian.

Secara etimologi Ahli adalah kelompok/keluarga/pengikut. Sunah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah yang diperagakan beliau untuk menjelaskan hukum-hukum Al Qur'an yang dituangkan dalam bentuk amalan. Al Jama'ah yaitu Al Ummah ( Al Munjid) yaitu sekumpulan orang-orang beriman yang di pimpin oleh imam untuk saling bekerjasama dalam hal urusan yang penting.

Menurut istilah Ahli Sunah wal Jama'ah adalah sekelompok orang yang mentaati sunah Rasulullah secara berjama'ah, atau satu golongan umat islam di bawah satu komando untuk urusan agama islam sesuai dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.

2.Syarat terbentuknya Al Jama'ah.

Secara singkat telah diterangkan oleh Sayyidina Umar RA: " Tidak ada islam kecuali dengan jama'ah, Tidak ada jama'ah kecuali dengan imam, Tidak ada imam kecuali dengan Bai'at, Tidak ada bai'at kalau tidak ada taat.

Dan bai'at bukanlah syahadat, sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang salah, dan apalagi dengan pengkafiran diluar kelompok tersebut.

3. Terpeliharanya Islam.

Dalam masa-masa kerusakan umat Islam, Allah menunjukkan kasih sayangnya dengan membangkitkan para mujadidnya setiap 100 tahun sekali yang meluruskan kembali pemahaman ajaran Rasul sesuai dengan kehendak pemahaman mereka saat itu hingga turunnya masa Imam Mahdi."

Thursday, July 12, 2012

AMALAN SUNAH BULAN RAMDHAN


11 Amalan Sunnah Khusus Bulan Ramadhan
Oleh: al-bahanj

"Adalah penting bagi kita untuk mengetahui kalam Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam dalam bab kaifiat dan fadhilat ibadah.  Ini kerana ia merupakan janji benar yang menjadi jaminan yang kukuh untuk kita berpegang dengannya.  Menjadi sumber motivasi buat orang-orang yang beriman.

Berikut adalah beberapa hadith Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan kepada kita bagaimana untuk mendapatkan impak maksima dari kebaikan Ramadhan.   Saya telah memetiknya dari kitab Riyadhus-Solihin susunan Imam an-Nawawi dan kitab Feqh as-Sunnah susunan Sheikh Sayyid Sabiq.  Semoga kita semua dapat mengamalkannya, insyaALLAH.
1.  Keutamaan Sahur Dan Mentakhirkannya Selama Tidak Khuatir Akan Terbitnya Fajar
Dari Anas radhiAllahu ‘anhu, bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Bersahurlah kamu sekalian kerana sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat barakah.”  (HR Bukhari & Muslim)
Dari Zaid bin Tsabit radhiAllahu ‘anhu berkata:  “Kami sahur bersama-sama dengan Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami melaksanakan solat.”  Ada seseorang bertanya:  “Berapa lama antara sahur dengan solat itu?”  Ia menjawab:  “Kira-kira 50 ayat.”  (HR Bukhari & Muslim)
Dari ‘Amr bin ‘Ash radhiAllahu ‘anhu, bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Kelebihan puasa kami dan puasa ahli Kitab adalah adanya makan sahur.”  (HR Muslim)
 2.  Segera Berbuka Puasa Apabila Sudah Masuk Waktu Berbuka
Dari Sahl bin Sa’d radhiAllahu ‘anhu bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Manusia itu selalu dalam kebaikan selama mereka segera berbuka puasa.”  (HR Bukhari & Muslim)
Dari Anas radhiAllahu ‘anhu berkata:  “Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam sentiasa berbuka dengan beberapa biji ruthob (kurma yang baru masak) sebelum solat.  Jika tidak ada ruthob (kurma yang baru masak), maka beliau sallAllahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan tamar (kurma yang sudah kering).  Jika tidak tamar (kurma yang sudah kering), maka beliau sallAllahu ‘alaihi wasallam meneguk air beberapa teguk.”  (HR Abu Daud dan At-Turmudzi)
3.  Berdo’a sepanjang berpuasa dan ketika berbuka.
Diriwayatkan oleh Turmudzi dengan sanad yang hasan, bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Ada 3 golongan yang tidak ditolak do’a mereka, iaitu orang yang berpuasa sehingga dia berbuka, pemimpin negara yang adil dan orang yang teraniaya.”
4.  Menjauhi perkara-perkara yang bertentangan dengan ibadah puasa.
Dari Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alahi wasallam bersabda:  “Puasa itu adalah perisai, oleh kerana itu, apabila salah seorang di antara kamu sekalian berpuasa maka janganlah berkata kotor dan janganlah bertengkar/berteriak.  Apabila ada seseorang yang mencaci-maki atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata:  “Sesungguhnya aku sedang berpuasa””.  (HR Bukhari & Muslim)
Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu berkata bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari)
5.  Bersiwak atau menggosok gigi. 
Amir bin Rabi’ah berkata,  “Saya melihat Nabi sallAllahu ‘alaihi wasallam bersiwak dan beliau pada saat itu sedang berpuasa.  Kerana seringnya, maka saya tidak dapat membilang dan menghitungnya.”  (HR Bukhari)
Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya mereka kuperintahkan bersiwak pada setiap kali berwudhu.”  (HR Bukhari)
6.  Bermurah hati dan banyak menderma.
Dari Ibnu Abbas radhiAllahu ‘anhu katanya:  “Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang paling dermawan, dan sifat dermawannya itu lebih menonjol pada bulan Ramadhan yakni ketika ditemui Jibril.  Biasanya Jibril menemuinya pada setiap malam bulan Ramadhan, dibawanya mempelajari al-Quran.  Maka Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam lebih murah hati melakukan kebaikan dari angin yang bertiup.”  (HR Bukhari)
7.  Menggandakan amalan membaca dan mempelajari al-Quran.
(Hadith Ibnu Abbas di atas menyatakan bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bertadarus (mempelajari al-Quran) dengan Jibril pada setiap malam Ramadhan.)
Membaca al-Quran adalah amalan biasa ummat Islam, tetapi sempena bulan Ramadhan, hendaklah kita tumpukan betul-betul dan menggandakannya.  Para ulama apabila tibanya bulan Ramadhan akan memberhentikan kuliah yang diajar mereka dan menumpukan kepada mempelajari al-Quran.  Membaca untuk memahami al-Quran yakni mentadabbur al-Quran adalah lebih utama dari membaca laju untuk mengkhatamkannya beberapa kali pada bulan Ramadhan.
8.  Memberi makan untuk berbuka puasa.
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhanny radhiaAllahu ‘anhu, bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Barangsiapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu.”  (HR At Turmudzy)
9.  Mendirikan malam dengan solat sunnat (solat Tarawih)
Dari Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu, bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:  “Barangsiapa yang mengerjakan solat sunnat pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari ALLAH, maka akan diampunilah dosanya yang telah lalu.”  (HR Bukhari & Muslim) 
10.  Giat beribadah pada 10 hari terakhir Ramadhan
Aisyah radhiAllahu ‘anha berkata:  “Bahawa Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam apabila masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan. diramaikannya waktu malam, dibangunkannya ahli keluarganya dan diikat erat kain sarungnya.”  (HR Bukhari & Muslim)
11.  Beriktikaf pada 10 terakhir Ramadhan.
Dari Ibnu Umar radhiAllahu ‘anhu berkata:  “Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam selalu beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”  (HR Bukhari & Muslim)
Dari Aisyah radhiAllahu ‘anha berkata:  “Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam selalu beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga Beliau sallAllahu ‘alaihi wasallam dipanggil ALLAH Ta’ala, kemudian setelah beliau sallAllahu ‘alaihi wasallam wafat, isteri-isterinya meneruskan kebiasaan Beliau itu.”  (HR Bukhari & Muslim)
 Semoga kita semua dapat mengambil pengajaran yang besar dari hadith-hadith Nabi sallAllahu ‘alaihi wasallam di atas.  Janganlah dilepaskan peluang untuk mendapatkan pahala yang besar hasil dari usaha kita untuk bersungguh-sungguh melaksanakan sunnah di atas.
Selain dari sunnah yang telah dinyatakan di atas, jangan lupa dan JANGAN meremehkan lain-lain sunnah Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wasallam seperti senyum, beri salam, solat jamaah di masjid, berbuat baik kepada ahli keluarga dan jiran, beri tadzkirah, merendah diri dan lain-lain.
Mudah-mudahan hidayah dan taufiq menyinari hati dan jiwa kita semua dan mudah-mudahn melekat ke dada kita semua akan nilai besar Taqwa, amin.

http://www.zafa4u.com/?id=hajijan

RAMDHAN BULAN MUSTAJAB


Ramadan Bulan Mustajab


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ بِعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

Daripada Abu Hurayrah katanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiga orang yang doa mereka tidak ditolak, pemerintah yang adil, orang yang berpuasa sehinggalah dia berbuka dan doa orang yang dizalimi. Allah s.w.t. mengangkatnya di atas awan-awan pada hari Kiamat dan dibukakan untuknya pintu-pintu langit dan Dia berfirman: “Demi kemuliaan-Ku pasti Aku akan memberi pertolongan walaupun selepas seketika.” (Ahmad, al-Tirmizi, Ibn Khuzaymah, Ibn Majah)

عن عَبْدِ الله بْنِ عَمْروٍ  يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

Daripada ‘Abdullah bin ‘Amr katanya, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika saat berbuka satu doa yang tidak ditolak. (Ibn Majah, al-Hakim)

قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Ibn Abi Mulaykah berkata: “Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr mengucapkan ketika berbuka, ya Allah, aku memohon dengan rahmat-Mu yang maha luas meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampunkanku.”

Hendaklah orang yang berpuasa merebutkan peluang sebelum berbuka dengan memperbanyak doa dan zikir kepada Allah s.w.t. dengan hati yang hadir dan khushu’ kepada-Nya. Walau bagaimanapun, tidak dikhususkan dengan doa yang tertentu, setiap orang boleh berdoa dengan mana-mana doa yang dihajatinya.

Sebab doa sangat diperkenankan pada bulan ini ialah kerana berhimpunnya pelbagai keberkatan dan rahmat dari Allah s.w.t. Selain itu, jiwa dan hati orang mu`min lebih suci dan khushu` lantaran penguasaan hawa nafsu menjadi lemah kerana kesan puasa. Dengan berpuasa seseorang itu dapat meninggalkan keinginan nafsunya dan hatinya menjadi bersih. Apabila dia berdoa dengan hatinya yang kosong kegelapan shahwat maka ia lebih khushu’ dan ia dipanjatkan dengan penuh pengharapan kepada Allah s.w.t. Sama ada segera dimakbulkan, disimpan di Akhirat atau dijauhkan musibah daripadanya.

عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن لله عتقاء من النار في كل يوم وليلة ولكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة

Daripada Abu Sa’id al-Khudri, katanya, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya setiap hari dan malam Allah melepaskan orang-orang dari ikatan (api neraka) dan bagi setiap orang Islam pada setiap hari dan malam doa yang diperkenankan.” (al-Tabarani, al-Mu’jam al-Awsat dan al-Bazzar)

Maksud pada setiap hari dan malam ialah pada bulan Ramadan.

عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يوما وحضر رمضان أتاكم رمضان شهر بركة فيه خير يغشيكم الله فيه فتنزل الرحمة وتحط الخطايا ويستجاب فيه الدعاء فينظر الله إلى تنافسكم ويباهي بكم ملائكته فأروا الله من أنفسكم خيرا فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله عز و جل

Daripada ‘Ubadah bin al-Samit bahawa pada ketika datangnya Ramadan, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Telah datang kepada kamu Ramadan, bulan keberkatan, padanya Allah s.w.t. melitupi kamu dengan kebaikan lalu diturunkan rahmat, dihapuskan dosa-dosa dan diperkenankan doa-doa, maka Allah s.w.t. memerhatikan kepada perlumbaan kamu dan berbangga dengan kamu di hadapan malaikat. Maka tunjukkanlah kepada Allah kebaikan dari diri kamu (yang kamu kerjakan) kerana sesungguhnya orang yang malang ialah orang yang terhalang dari rahmat Allah s.w.t. pada bulan Ramadan.” (al-Tabarani dalam Musnad al-Shamiyyin)

Oleh sebab itulah, Allah s.w.t. menyebutkan ayat ini bersama hukum puasa.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu mengenai Aku maka (beritahu kepada mereka): Sesungguhnya Aku (Allah) sentiasa hampir (kepada mereka); Aku perkenankan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka menyahut seruanku (dengan mematuhi perintahKu), dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku supaya mereka menjadi baik serta betul. (Surah al-Baqarah: 186)

Ketika mentafsirkan ayat ini, Imam al-Baydawi menulis: “Ketahuilah bahawa setelah Allah s.w.t. memerintahkan orang-orang beriman supaya berpuasa Ramadan dan menjaga hari-harinya serta mengalakkan mereka melaksanakan tugas-tugas membesarkan Allah dan mensyukurinya, maka Allah s.w.t. mengemukakan ayat ini selepasnya yang menunjukkan bahawa Dia maha mengetahui keadan mereka, maha mendengar ucapan mereka, amat memakbulkan doa-doa mereka dan memberi balasan untuk amalan mereka sebagai penegasan dan dorongan.”

Difahami juga daripada ayat ini bahawa apabila seseorang yang beriman itu mahu supaya diperkenankan segala doanya maka hendaklah dia menyahut seruan Allah s.w.t. dengan beriman dengan sepenuh hati dan melaksanakan segala perintah-Nya.

Dalam hadis lain, terdapat juga perintah supaya beristighfar, memohon syurga dan dijauhkan dari api neraka.

و استكثروا فيه من أربع خصال : خصلتين ترضون بهما ربكم و خصلتين لا غنى بكم عنهما فأما الخصلتان اللتان ترضون بهما ربكم فشهادة أن لا إله إلا الله و تستغفرونه و أما اللتان لا غنى بكم عنهما فتسألون الله الجنة و تعوذون به من النار

Hendaklah memperbanyak empat perkara, dua yang menyebabkan Allah reda kepada kamu dan dua yang kamu sangat memerlukannya. Adapun dua yang menyebabkan Allah reda kepada kamu ialah shahadah bahawa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan kamu memohon ampun dari-Nya. Adapun dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah kamu meminta syuga dari-Nya dan kamu memohon perlindungan dari api neraka. (Ibn Khuzaymah)

Waktu yang paling baik untuk beristighfar ialah semasa bersahur dan sebab itu sahur itu mempunyai banyak keberkatan. Antaranya ialah waktu orang-orang soleh berdoa memohon ampun dari Allah s.w.t.

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آَمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (16) الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ (17)

(16.) (Iaitu) orang-orang yang berdoa dengan berkata: "Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Kami telah beriman, oleh itu, ampunkanlah dosa-dosa kami dan peliharalah kami dari azab neraka";  (17.) (dan juga) orang-orang yang sabar (dalam menjunjung perintah Allah), dan orang-orang yang benar (perkataan dan hatinya), dan orang-orang yang sentiasa taat (akan perintah Allah), dan orang-orang Yang membelanjakan hartanya (pada jalan Allah), dan orang-orang yang beristighfar (memohon ampun) pada waktu sahur. (Surah Aal ‘Imran: 16-17)

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)

(17.) Mereka sentiasa mengambil sedikit sahaja: masa dari waktu malam, untuk mereka tidur. (18) Dan pada waktu akhir malam (sebelum fajar) pula, mereka selalu beristighfar kepada Allah (memohon ampun). (Surah al-Zariyat: 17-18)


 Disediakan oleh Muhammad Hanief Awang Yahaya untuk  www.darulkautsar.net

FATWA SAMBUTAN NISFU SYA`BAN


FATWA TENTANG MERAYAKAN SAMBUTAN NISFU SYABAAN

Bacaan Yasin

Umat Islam di Malaysia umumnya menyambut malam Nisfu Syaaban (15hb Syaaban) dengan mengadakan majlis membaca surah Yasin sebanyak tiga kali selepas solat Maghrib. Di celah-celah bacaan Yasin ini diselitkan dengan bacaan doa seperti berikut; selepas bacaan Yasin pertama dengan doa untuk diselamatkan dunia akhirat, selepas bacaan Yasin kedua doa supaya dipanjangkan umur dalam keberkatan dan selepas bacaan Yasin ketiga doa supaya dianugerahkan rezeki yang halal.

Diperhatikan bahawa amalan sambutan Nisfu Syaaban yang kaifiatnya sebegini tidak diamalkan di tempat lain di seluruh dunia. Tidak hairanlah tiada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama muktabar dunia masakini tentang sahih atau batilnya amalan ini.

Kita beramal dan beribadat adalah untuk mendapat pahala dan kebaikan. Amalan ini hendaklah ada contohnya dari Rasulullah s.a.w.  atau sahabat-sahabat atau ada petunjuk yang jelas dari al-Quran dan as-Sunnah. Amalan mengkhususkan bacaan dan doa tertentu pada sesuatu masa tanpa nas yang sahih adalah amalan bidaah yang tertolak dan dikhuatiri berdosa; setidak-tidaknya ia akan membazirkan masa dan memenatkan badan.

Kita boleh membaca surah Yasin sebanyak mungkin pada bila-bila masa untuk mendapat pahala tetapi tidak dengan mengkhususkan kepada malam Nisfu Syabaan dan dengan bilangan tiga kali. Kita digalakkan berdoa apa saja kepada Allah s.w.t untuk kebaikan dunia dan di akhirat tetapi tidak perlu dikhususkan di celah-celah bacaan Yasin di malam Nisfu Syaaban. Dan kita boleh membaca surah Yasin dan berdoa bersendirian, di mana-mana dan bila-bila saja dan tidak perlu berkampung  di masjid-masjid dengan harapan mendapat ganjaran istimewa dari Allah s.w.t.

Berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama terkemuka di Timur Tengah untuk menjelaskan tentang amalan bidaah di malam nisfu Syaaban. Perhatikan bahawa beliau tidak menyebut amalan membaca Yasin  dan doa-doa yang mengiringinya kerana amalan tersebut tidak diamalkan oleh penduduk di Timur Tengah atau di bahagian lain dunia Islam. Boleh dikatakan bahawa amalan baca Yasin dan doa ini adalah sebahagian dari sekian banyak amalan bidaah ciptaan rakyat tempatan khusus untuk amalan penduduk nusantara ini!


'Solat Sunat' Nisfu Syaaban

Firman Allah (mafhumnya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada kamu dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu." [al-Maa’idah 5:3]. “Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan mana-mana bahagian dari agama mereka sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah?" [al-Syur.a 42:21]

Dalam kitab al-Sahihain diriwayatkan daripada `Aisyah (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang mana bukan sebahagian daripadanya, akan tertolak.”

Dalam Sahih Muslim diriwayatkan daripada Jabir r.a, Nabi (s.a.w) bersabda dalam khutbah Baginda: "Tetaplah kamu dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafa' Rasyidun, serta berpegang teguhlah padanya... Berwaspadalah terhadap perkara yang baru diada-adakan, kerana setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap perkara bid'ah itu adalah sesat.” Terdapat banyak lagi ayat Qur'an dan hadis yang seumpamanya.

Ini jelas sekali menunjukkan bahawa Allah telah sempurnakan agama umat ini, dan mencukupkan nikmatNya ke atas mereka. Tuhan tidak mengambil nyawa RasulNya sehinggalah Baginda selesai menyampaikan perutusan dengan seterang-terangnya dan menghuraikan kepada ummah segala apa yang telah diperintahkan Allah samada amalan perbuatan mahupun percakapan. Baginda s.a.w telah menerangkan bahawa untuk ibadah yang direka selepas kewafatan Baginda, segala bacaan dan amalan yang kononnya dilakukan menurut Islam, kesemua ini akan dicampakkan kembali kepada orang yang mencipta amalan tersebut, meskipun ia berniat baik.

Para Sahabat Nabi s.a.w tahu tentang hakikat ini, begitu juga para salaf selepas mereka. Mereka mengecam bid’ah dan menegahnya, sebagaimana telah dicatatkan dalam kitab-kitab yang menyanjung sunnah dan mengecam bid’ah, ditulis oleh bin Waddah, al-Tartushi, bin Shamah dan lain-lain.

Antara amalan bid’ah yang direka manusia ialah menyambut hari pertengahan dalam bulan Syaaban (Nisfu Syaaban), dan menganjurkan puasa pada hari tersebut. Tidak ada nas (dalil) yang boleh dipercayai tentang puasa ini. Ada beberapa hadis dhaif telah dirujuk tentang fadhilat puasa ini, tetapi ianya tidak boleh dijadikan pegangan. Hadis-hadis diriwayatkan mengenai fadhilat doa sempena Nisfu Syaaban kesemuanya adalah maudhu’ (rekaan semata-mata), sebagaimana telah diperjelaskan oleh sebahagian besar alim ulama. Kita akan lihat beberapa petikan dari ulasan para alim ulama ini.

Beberapa riwayat tentang hal ini telah dinukilkan daripada sebahagian ulama salaf di Syria dan lain-lain. Menurut jumhur ulama, menyambut Nisfu Syaaban adalah bid’ah, dan hadis-hadis tentang fadhilat-fadhilat berkenaan hari tersebut adalah dhaif (lemah), sebahagian besar yang lain pula adalah maudhu’ (rekaan). Antara ulama yang memperjelaskan hal ini adalah al-Haafiz bin Rejab, di dalam kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif, dan lain-lain. Hadis-hadis dha`if berkenaan ibadah hanya boleh diterimapakai untuk amalan ibadat yang terdapat menerusi nas-nas yang Sahih. Tidak ada asas yang Sahih bagi sambutan Nisfu Syaaban, oleh itu hadis-hadis dha`if tersebut tidak dapat digunapakai.

Prinsip asas yang penting ini telah disebutkan oleh Imam Abu’l-‘Abbas Sheikh al-Islam bin Taymiyah (rahimahullah). Para alim ulama (rahimahumullah) telah sepakat bahawa apabila wujud perselisihan di kalangan umat, maka wajiblah merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Apa-apa keputusan yang diperolehi daripada salah satu atau kedua-duanya adalah syariat yang wajib ditaati, sebaliknya apa-apa yang didapati bercanggah dengan kedua-duanya mestilah ditolak. Oleh itu sebarang amalan ibadat yang tidak dinyatakan di dalam kedua-dua (Qur’an dan Sunnah) adalah bid’ah dan tidak dibenarkan melakukannya, apatah lagi mengajak orang lain melakukannya atau mengiktirafkannya.

Sebagaimana Firman Allah (mafhumnya): “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya." [al-Nisa’ 4:59]

“Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan).”[al-Shura 42:10]. “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [Aal ‘Imr.an 3:31]

“Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya.” [al-Nisa’ 4:65]

Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa maksudnya seperti di atas, yang menyatakan dengan jelas bahawa sebarang perselisihan wajib dirujuk kepada Qur’an dan Sunnah, seterusnya wajib mentaati keputusan yang diperolehi daripada kedua-dua Nas ini. Ini merupakan syarat iman, dan inilah yang terbaik untuk manusia di dunia dan di akhirat: “Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya” [al-Nisa’ 4:59 – mafhumnya] maksudnya ialah Hari Akhirat.

Al-Hafiz bin Rejab (R.A) menyebut di dalam kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif tentang isu ini – setelah membincangkannya secara panjang lebar – “Malam Nisfu Syaaban asalnya diutamakan oleh golongan tabi’in di kalangan penduduk Sham, antaranya Khalid bin Mi’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lain-lain, di mana mereka beribadah bersungguh-sungguh pada malam tersebut. Orang awam menganggap bahawa malam tersebut adalah mulia kerana perbuatan mereka ini. Disebutkan bahawa mereka telah mendengar riwayat-riwayat Israiliyyat berkenaan kelebihan malam tersebut, sedangkan jumhur ulama di Hijaz menolak kesahihan riwayat ini, antara mereka adalah ‘Ata’ dan Ibnu Abi Malikah. ‘Abdul Rahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan fatwa ini daripada fuqaha’ (Ulama Ahli Fiqh) di Madinah, dan inilah pandangan ulama-ulama Maliki dan lain-lain. Kata mereka: semua ini adalah bid’ah…

Imam Ahmad tidak pernah diketahui menyebut apa-apa pun tentang (adanya sambutan) malam Nisfu Syaaban… Tentang amalan berdoa sepanjang malam Nisfu Syaaban, tidak ada riwayat yang sahih daripada Nabi (s.a.w) ataupun daripada para sahabat Baginda …”

Inilah apa yang telah disebutkan oleh al-Hafiz bin Rejab (R.A). Beliau menyatakan dengan jelas bahawa tidak ada langsung riwayat sahih daripada Rasulullah s.a.w mahupun daripada sahabat-sahabat Baginda (R.A) mengenai malam Nisfu Shaaban (pertengahan bulan Syaaban).

Dalam keadaan di mana tidak ada bukti shar’i bahawa apa-apa perkara itu disuruh oleh Islam, tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk mereka-reka perkara baru dalam agama Allah, tidak kiralah ianya amalan perseorangan ataupun berkumpulan, samada dilakukan secara terbuka mahupun tertutup, berdasarkan maksud umum hadith Rasulullah s.a.w: “Barangsiapa melakukan apa sahaja amalan yang bukan sebahagian daripada urusan kita ini [Islam], amalan itu akan tertolak.” Banyak lagi dalil yang menegaskan bahawa bid’ah mesti ditegah dan memerintahkan agar menjauhinya.

Imam Abu Bakr al-Tartushi (r.a) menyebut dalam kitabnya al-Hawadith wa’l-Bida’: “Ibn Waddah meriwayatkan bahawa Zayd bin Aslam berkata: Kami tidak pernah menemui seorang pun dari kalangan ulama dan and fuqaha’ kami yang memberi perhatian lebih kepada malam Nisfu Shaaban, tidak ada juga yang memberi perhatian kepada hadith Makhul, atau yang beranggapan bahawa malam tersebut adalah lebih istimewa daripada malam-malam lain. Pernah ada orang mengadu kepada Ibnu Abi Maleekah bahawa Ziyad an-Numairi mengatakan bahawa pahala di malam Nisfu Shaaban adalah menyamai pahala Lailatul-Qadar. Beliau menjawab, “Sekiranya aku dengar sendiri dia berkata begitu dan ada kayu di tanganku, pasti aku akan memukulnya (dengan kayu itu). Ziyad seorang pereka cerita.”

Al-Shaukani (r.a) berkata dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah: “Hadith yang berbunyi: ‘Wahai ‘Ali, barangsiapa bersolat seratus rakaat di malam Nisfu Shaaban, dengan membaca pada setiap rakaat Ummul Kitab [surah al-Fatihah] dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali, Allah akan memenuhi segala keperluannya…’ Hadis ini maudhu’ (rekaan semata-mata). Susunan katanya menyebut dengan jelas ganjaran yang akan diterima oleh orang yang melakukannya, dan tidak ada orang yang waras yang boleh meragui bahawa ‘hadis’ ini adalah rekaan. Lebih-lebih lagi, perawi dalam isnad hadis ini adalah majhul (tidak dikenali). ‘Hadis’ ini juga diriwayatkan melalui sanad yang lain, yang mana kesemua adalah direka dan kesemua perawinya adalah majhul (tidak diketahui asal-usulnya).

Di dalam kitab al-Mukhtasar, beliau menukilkan: Hadith yang menyebut tentang solat di tengah bulan Syaaban adalah hadis palsu, dan hadis Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban – “ Apabila tiba malam pertengahan Syaaban, penuhilah malamnya dengan solat dan berpuasalah di siang harinya” – adalah dhaif (lemah).

Di dalam kitab al-La’aali’ beliau berkata, “Seratus rakaat di pertengahan Syaaban, membaca (surah) al-Ikhlas sepuluh kali di setiap rakaat… (hadis ini) adalah maudhu’ (direka), dan kesemua perawi dalam tiga isnadnya adalah majhul (tidak dikenali) dan dhaif (lemah). Katanya lagi: dan dua belas rakaat, membaca al-Ikhlaas tiga puluh kali setiap rakaat, ini juga adalah maudhu’; dan empat belas (rakaat), juga adalah maudhu’.

Beberapa orang fuqaha’ telah tertipu oleh hadis palsu ini, antaranya pengarang al-Ihya’ dan lain-lain, dan juga sebahagian ulama mufassirin. Solat khusus di malam ini – di pertengahan bulan Syaaban – telah diterangkan dalam pelbagai bentuk, kesemuanya adalah palsu dan direka-reka.”

Al-Hafiz al-‘Iraqi berkata: “Hadith tentang solat di malam pertengahan Syaaban adalah maudhu’, dan disandarkan secara palsu terhadap Rasulullah s.a.w.”

Imam al-Nawawi berkata di dalam bukunya al-Majmu’: “Sembahyang yang dikenali sebagai solat al-raghaa’ib, didirikan sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan ‘Isyak pada malam Jumaat pertama di bulan Rejab, dan sembahyang sunat malam Nisfu Shaaban, sebanyak seratus rakaat – kedua-dua sembahyang ini adalah bid’ah yang tercela. Sepatutnya orang ramai tidak tertipu disebabkan ianya disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya’ ‘Ulum al-Din, atau oleh hadis-hadis yang disebutkan dalam kedua-dua kitab ini. Kesemuanya adalah palsu. Orang ramai juga tidak sepatutnya tertipu disebabkan kerana beberapa imam telah keliru dalam hal ini dan menulis beberapa helaian yang menyebut bahawa sembahyang ini adalah mustahabb (sunat), kerana dalam hal ini mereka tersilap.”

Sheikh al-Imam Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Isma’il al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang amat berharga, yang membuktikan bahawa riwayat-riwayat tersebut adalah palsu, dan jasa beliau sangatlah besar. Alim `ulama telah membincangkan hal ini dengan panjang lebar, dan sekiranya kami ingin memetik keseluruhan perbincangan tersebut untuk dicatatkan di sini, tentu akan mengambil masa yang sangat panjang. Mudah-mudahan apa yang telah disebutkan di atas sudah memadai bagi anda yang mencari kebenaran.

Daripada ayat-ayat Qur’an, hadis-hadis dan pendapat ulama yang dipetik di atas, sudah jelas bagi kita bahawa menyambut pertengahan bulan Syaaban dengan cara bersembahyang di malamnya atau dengan mana-mana cara yang lain, atau dengan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, adalah bid’ah yang ditolak oleh jumhur ulama. Amalan tersebut tiada asas dalam syariat Islam yang tulen; bahkan ianya hanyalah salah satu perkara yang diada-adakan dalam Islam selepas berakhirnya zaman sahabat (radhiallahu `anhum).

Amat memadai, dalam hal ini, untuk kita fahami kalam Allah (mafhumnya): “Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu untukmu..…”[al-Ma’idah 5:3]. dan beberapa ayat yang seumpamanya; dan kata-kata Nabi s.a.w: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang (pada hakikatnya) bukan sebahagian daripadanya, tidak akan diterima” dan beberapa hadis yang serupa.

Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahawa Abu Hurairah (r.a) berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Janganlah kamu khususkan malam Jumaat untuk bersembahyang malam dan janganlah khususkan siang hari Jumaat untuk berpuasa, melainkan jika puasa di hari itu adalah sebahagian daripada puasa-puasa yang kamu amalkan berterusan berterusan.’”

Seandainya dibenarkan untuk mengkhususkan mana-mana malam untuk amalan ibadah yang istimewa, sudah tentu malam Jumaat adalah yang paling sesuai, kerana siang hari Jumaat adalah hari yang paling baik bermula terbit mataharinya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahih yang diriwayatkan daripada Rasulullah s.a.w. Memandangkan Nabi s.a.w sendiri melarang dari mengkhususkan malam tersebut untuk bertahajjud, itu menandakan bahawa adalah lebih dilarang sekiranya dikhususkan malam-malam lain untuk sebarang bentuk ibadat, kecuali di mana terdapat nas yang Sahih yang mengkhususkan malam tertentu.

Oleh kerana telah disyariatkan untuk memenuhi malam Lailatul-Qadr dan malam-malam lain di bulan Ramadhan dengan bersolat, Rasulullah s.a.w memberi perhatian kepadanya dan menyuruh umatnya bersolat malam sepanjang tempoh tersebut. Baginda sendiri melaksanakannya, sebagaimana disebut dalam al-Sahihain, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: “Barangsiapa bersolat qiyam di bulan Ramadan dengan penuh iman dan mengharapkan pahala, Allah akan ampunkan dosa-dosanya yang telah lalu” dan “Barangsiapa memenuhi malam Lailatul Qadr dengan bersolat (sunat) disebabkan iman dan mencari pahala, Allah ampunkan kesemua dosanya yang telah lalu.”

Akan tetapi sekiranya disyariatkan untuk mengkhususkan malam pertengahan bulan Syaaban, atau malam Jumaat pertama di bulan Rejab, atau di malam Isra’ dan Mi’raj, dengan meraikannya ataupun dengan melakukan amalan ibadat yang khusus, maka sudah tentu Rasulullah s.a.w telah mengajar umatnya melakukannya, dan Baginda sendiri melakukannya. Jika pernah berlaku sedemikian, para sahabat Baginda (r.a) pasti akan memperturunkan amalan amalan tersebut kepada umat terkemudian; tidak mungkin mereka menyembunyikan amalan daripada umat terkemudian, kerana mereka adalah generasi yang terbaik dan yang paling amanah selepas Rasulullah, radhiallahu `anhum, dan semoga Allah merahmati kesemua sahabat Rasulullah s.a.w.

Sekarang kita telah membaca sendiri kata-kata ulama yang dipetik di atas bahawa tidak ada riwayat daripada Rasulullah s.a.w mahupun para sahabat (r.a) berkenaan kelebihan malam Jumaat pertama bulan Rejab, atau malam pertengahan bulan Syaaban. Maka kita tahu bahawa menyambut hari tersebut adalah satu perkara baru yang dimasukkan ke dalam Islam, dan mengkhususkan waktu-waktu ini untuk amalan ibadat tertentu adalah bid’ah yang tercela.

Samalah juga dengan sambutan malam ke dua puluh tujuh bulan Rejab, yang mana disangkakan oleh sesetengah orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj; tidak dibenarkan mengkhususkan hari tersebut untuk amalan tertentu, atau meraikan tarikh tersebut, berdasarkan dalil yang dipetik di atas. Ini sekiranya tarikh sebenar Isra’ and Mi’raj telah diketahui, maka bagaimana sekiranya pandangan ulama yang benar adalah tarikh sebanar Isra’ and Mi’raj tidak diketahui! Pandangan yang mengatakan ianya berlaku pada malam ke dua puluh tujuh di bulan Rejab adalah riwayat yang palsu yang tiada asas dalam hadis-hadis sahih. Baik sekiranya seseorang itu berkata: “Perkara paling baik adalah yang mengikut jalan para salaf, dan perkara paling buruk adalah perkara yang diada-adakan.”

Kita memohon agar Allah membantu kita dan seluruh umat Islam untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan menjauhi segala yang bertentangan dengannya, kerana Dialah yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Semoga Allah merahmati Pesuruh dan UtusanNya, Nabi kita Muhammad s.a.w, serta kesemua ahli keluarga dan Para Sahabat baginda.


Ulasan dan terjemahan : www.darulkautsar.net
[Dipetik daripada Majmu’ Fatawa Samahat al-Sheikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baz, 2/882]

Jumaat : 10/10/2003