Prolog
Setiap pasangan suami istri pasti berharap menjadi pasangan
sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng sampai ke anak cucu. Sebab itu,
banyak orang meminta kepada Allah untuk menyatukan pasangan suami istri
layaknya Nabi Adam dan Hawa, Nabi Yusuf dan Zulaikha, serta Nabi Muhammad Saw
dan Khadijah. Doa pun dirangkai dengan indah, sebagaimana sudah jamak:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ
بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ
يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ
جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً
وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ
وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan
perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan
Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha,
Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia
dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah
keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan
orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
Banyak orang bertanya, dalam Alquran tidak disinggung
sedikitpun tentang pernikahan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, bahkan Alquran
menggambarkan bahwa Zulaikha adalah perempuan yang tidak baik, yang mendurhakai
suaminya, serta menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan mesum.
Pertanyaannya, “Benarkah Nabi Yusuf dan Zulaikha menikah, dan menjadi pasangan
sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng ke anak cucu, sebagaimana yang
diceritakan secara turun temurun?” Atau, “Apakah kisah ini hanya israliyat yang
tidak berdasar?”
Terlepas dari ma’tsur atau tidaknya doa di atas,
jika benar bahwa Nabi Yusuf pernah menikahi Zulaikha dan menjadi pasangan
sejati, maka tidak ada masalah dengan rangkaian doa di atas. Tetapi, jika Nabi
Yusuf tidak pernah menikahi Zulaikha atau diragukan pernikahan mereka, maka doa
di atas juga diragukan. Bahkan, ada sebuahstatement yang berlebihan, “Jika
Nabi Yusuf tidak pernah menikahi Zulaikha, lalu doa di atas digunakan, sama
halnya mendoakan pengantin tersebut untuk mencintai istri orang lain, alias selingkuh.”
Dalam pembahasan yang sederhana ini, penulis ingin menjawab
pertanyaan tersebut, dengan cara mendeteksi, “Apakah pernikahan Nabi Yusuf dan
Zulaikha bersumber dari riwayat-riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak?” Allahul musta`an.
Definisi Isra’iliyat
Kata isrâ’îliyât berasal
dari kata isrâ’îl. Isrâ’îl adalah nama lain dari Nabi Ya`qub as. Isrâ’îl sendiri
bermakna hamba Allah. Banî Isrâ’îl adalah anak cucu Nabi Ya’qub.
Istilah Banî Isrâ’îl dikenal juga dengan sebutan bangsa Yahudi, jika
mereka beriman kepada Nabi `Isa disebut Nasrani, dan yang beriman kepada Nabi
Muhammad disebut muslim dan mukmin.[1]
Riwayat
isra’iliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Bani Isra’il atau bangsa
Yahudi, dari kitab suci mereka, yakni Taurat, buku-buku penjelasannya, dari
Talmud dan penjelasannya, kisah-kisah, dongeng, kurafat dan kisah yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Terkadang, para peneliti mengaitkan
kisah-kisah dan informasi yang berasal dari Nasrani (injil, surat-surat paulus,
dan berbagai buku penjelasannya) termasuk dalam riwayat isra’iliyat.[2]
Banyak
riwayat dari Nabi Saw yang menjelaskan posisi umat Islam ketika berhadapan
dengan riwayat-riwayat isra’iliyat; ada yang melarang, membolehkan dan tidak
melarang sekaligus tidak membolehkan. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah,
Nabi Saw bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ
وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ.
“Sampaikan
dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan.
Siapa berdusta dengan sengaja terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat
duduknya di neraka.”
Hadis
pembolehan seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis, diantaranya Shahih
al-Bukhari dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan at-Tirmidzi dari
Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan ad-Darimi dari Abdullâh bin Amr bin
`Âsh, dan Musnad Imam Ahmad dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh dan Abû
Sa`îd al-Khudri, serta Shahih Ibnu Hibban dari Abdullâh bin Amr bin
`Âsh.
Sedangkan
hadis yang melarang adalah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ
فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا
بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ
فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ
إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِِِِ.
“Umar Ibnu al-Khaththab memberikan satu buku dari Ahli
Kitab, lalu Nabi membacanya dan marah, serta bersabda, “Apakah kamu kagum
dengan buku ini wahai anak al-Khaththab? Demi Tuhan yang diriku berada dalam
genggaman-Nya, sungguh yang aku berikan kepada kamu (Alquran) yang terang lagi
murni. Janganlah kamu bertanya sesuatupun kepada Ahli Kitab, sehingga mereka
mengabarkan kepada kamu yang benar lalu kamu dustai atau mereka kabarkan yang
batil lalu kamu benarkan. Demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika
Nabi Musa as hidup sekarang, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.”
(HR. Imam Ahmad dalam al-Musnad).
Ibnu Hajar al-`Asqalani (w. 852 H), dalam kitabnya Fath
al-Bari mengomentari hadis larangan ini sebagai larangan Nabi Muhammad Saw
sebelum kokohnya ajaran dan hukum Islam.[3] Namun,
setelah ajaran Islam kuat, keluarlah dari beliau hadis-hadis pembolehannya.
Hadis yang ketiga adalah hadis yang tidak membolehkan tidak
pula melarang periwayatan isra’iliyat. Nabi Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَهْلُ
الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا
بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ
وَقُولُوا {آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} الْآيَةَ.
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan
Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat
Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan
pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
Tiga riwayat di atas seolah bertentangan, namun jika
ditelusuri lebih dalam, sama sekali tidak ada pertentangan di antara tiga
riwayat tersebut.
Hukum Meriwayatkan Israiliyat
Dalam
menanggapi tiga riwayat yang seolah bertentangan di atas, ulama tafsir
mengklasifikasikan riwayat-riwayat isra’iliyat menjadi tiga kelompok. Pertama,
riwayat-riwayat isra’iliyat yang bertentang dengan Alquran dan sunnah. Riwayat
seperti ini haram diriwayatkan jika tidak menjelaskan kebatilannya. Inilah yang
dimaksud dalam larang Nabi pada hadis Umar bin al-Khaththab di atas. Diantara
contoh riwayat seperti ini adalah kisah Nabi Sulaiman. Pada suatu saat Nabi
Sulaiman ingin ke kamar mandi, dan menitipkan cincinnya kepada salah satu
istrinya. Iblis pun menyerupai Nabi Sulaiman, lalu datang kepada istrinya dan
meminta cincin yang dititipkan oleh Nabi Sulaiman. Istrinya menyangka yang
datang adalah Nabi Sulaiman, dan memberi cincin tersebut. Dengan cincin itu,
Iblis menguasai kerajaan Nabi Sulaiman dan memerintah dengan sesuka hatinya dan
zalim.
Ketika
keluar dari kamar mandi, Nabi Sulaiman yang asli datang kepada istrinya untuk
meminta cincin yang telah dititipkannya. Istrinya mengatakan, “Bukankah cincin
tersebut telah kuberikan kepada Sulaiman!” Nabi Sulaiman yang asli pun terdiam
dan hanya bisa pasrah. Sedangkan Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman terus
menguasai kerajaan dengan zalim, sampai pada akhirnya istri Nabi Sulaiman
curiga karena Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman tersebut menggauli istrinya
dalam keadaan haidh, sedangkan Nabi Sulaiman yang asli tidak pernah menggauli
istrinya dalam kaeadaan demikian.
Tidak
diragukan lagi bahwa kisah ini jelas bertentangan dengan Alquran dan sunnah,
sehingga tidak sedikit pun dari riwayat ini dapat dijadikan hujjah. Bahkan
harus dijauhkan dari kitab-kitab keislaman.
Kedua,
riwayat-riwayat isra’iliyat yang sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat
seperti ini boleh diriwayatkan, karena hadis pembolehan dari hadis Nabi di
atas, “Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan.” Banyak kasus
bahwa para sahabat menerima dan membenarkan cerita Ahli Kitab yang sesuai
dengan Alquran atau sunnah, walaupun kebenaran itu hanya satu dari beberapa
kemungkinan penafsiran terhadap ayat Alquran atau hadis tersebut.
Pada
suatu hari, seorang Yahudi datang kepada Ali bin Abi Thalib, Ali pun bertanya,
“Di mana neraka?” Orang Yahudi tersebut menjawab, “Di laut.” Lalu Ali
berkomentar terhadap jawaban tersebut, “Jawabannya benar, karena Allah
berfirman, “Dan apabila lautan dipanaskan.” (QS. At-Takwir [81]: 6). Ali membenarkan
jawaban orang Yahudi tersebut walaupun hanya satu dari beberapa kemungkinan
penafsiran dari ayat itu.
Ketiga,
riwayat isra’iliyat yang tidak bertentangan dengan ayat Alquran atau sunnah,
serta tidak pula sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh
diriwayatkan, walaupun tidak menerangkan keisra’iliyatannya. Inilah yang
dimaksud dari hadis nabi:
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan
Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat
Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan
pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).[4]
Nama Zulaikha dalam Literatur
Alquran
tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lain. Alquran hanya menyebut
“istri al-Aziz.” Allah berfirman:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ
فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ
مُبِينٍ
“Dan
perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri al-Aziz menggoda dan merayu
pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk
cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf [12]:
30).
Tidak
hanya Alquran yang tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lainnya.
Perjanjian Lama juga tidak menyebut nama untuk istri al-Aziz tersebut. Bible,
dalam Kitab Kejadian 37-50 yang berbicara kisah Nabi Yusuf secara
lengkap, juga tidak menyinggung sedikit pun tentang nama istri al-Aziz atau
Potifar istilah Bible.[5]
Namun,
kitab-kitab tafsir menyebutkan nama istri al-Aziz tersebut. Ketika menafsirkan
surat Yusuf ayat 21[6] para
mufassir menyebutkan nama istri al-Aziz asebagai Zulaikha, Zulaikhah
(menggunakan ta marbuthah), Zulaikha’ (mengunakan hamzah), Zalikha,
dan Ra’il binti Ra’ail. Dengan sanad yang lengkap Imam Ibnu Jarir ath-Thabari
(w. 310 H) dalam tafsirnya Jami` al-Bayan `An Ta’wil Ay al-Qur’an menyebutkan
nama istri al-Aziz adalah Ra’il binti Ra’ail. Nama ini diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dari Ibnu Ishaq.[7]Ibnu Jarir
tidak menjelaskan status riwayat ini lemah atau tidak, isra’iliyat atau tidak.
Pentahqiq tafsir ini, Ahmad Abd ar-Raziq al-Bakri, Muhammad Adil Muhammad,
Muhammad Abd al-Lathif Khalaf, dan Mahmud Mursi Abd al-Hamid, juga tidak
menjelaskan hal demikian.
Imam
Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) dalam tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim,
menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz adalah Ra’il binti Ra’ail. Nama ini beliau
riwayatkan dari Muhammad bin Ishaq.[8] Ibnu Abi
Hatim sendiri dan Muhaqqiq tafsirnya, As`ad Muhammad ath-Thaib tidak
menjelaskan status riwayat tersebut.
Imam
Fakr ad-Din ar-Razi (w. 604 H) dalam tafsirnya at-Tafsir al-Kabir au
Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz tersebut adalah
Zulaikha atau pendapat lain Ra’il.[9] Untuk
nama Zulaikha ar-Razi menisbahkan kepada banyak ulama terbukti beliau
menggunakan kata qalu (mereka berkata), sedangkan nama Ra’il, ar-Razi
menisbahkannya kepada pendapat yang tidak jelas siapa yang mengatakannya, sebab
itu beliau menggunakan kata qila (dikatakan). Dalam menanggapi
riwayat ini, Imam ar-Razi memberikan peringatan bahwa riwayat seperti ini tidak
memiliki dasar dari Alquran atau riwayat-riwayat yang shahih. Oleh sebab itu,
riwayat-riwayat seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah, terutama dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran.[10]
Dalam
Tafsirnya, al-Jami` li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi (w. 671 H)
menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz adalah Ra’il atau Zulaikha’ (menggunakan hamzah).
Nama Ra’il beliau nisbahkan kepada al-Mawardi, sedangkan nama Zulaikha’ dengan
menggunakan kata qila (dikatakan).[11] Di
tempat yang lain, beliau menisbahkan nama Zulaikha’ berdasarkan riwayat Wahab
bin Munabbih.[12] Dalam
penyebutan nama tersebut, al-Qurthubi dan pentahqiq tafsirnya, Dr.
Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Mahmud Hamid Utsman, tidak menjelaskan
keabsahannya.
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya, Tafsir
al-Qur’an al-`Azhimmenjelaskan bahwa nama istri al-Aziz tersebut adalah Ra’il
binti Ra’ail. Ibnu Katsir menisbahkan riwayat ini kepada Muhammad bin Ishaq.
Namun menurut yang lain – tanpa menyebutkan periwayatnya – namanya adalah
Zulaikha.[13] Ibnu
Katsir sendiri tidak menjelaskan apakah riwayat ini isra’iliyat atau tidak.
Begitu juga pentahqiq tafsir tersebut, Muhammad Nashir ad-Din al-Albani,
tidak menjelaskan status riwayat itu.
Imam
Ibnu Hajar al-`Asqalani (w. 852 H) dalam bukunya Fath al-Bari bi Syarh
Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz yang masyhur adalah
Zulaikha, namun ada yang mengatakan Ra’il.[14] Untuk
penyebutan dua nama tersebut, Ibnu Hajar tidak menisbahkannya kepada satu
periwayat pun.
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam tafsirnya ad-Durr
al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz
tersebut adalah Zulaikhah (dengan menggunakan ta marbuthah). Nama ini diriwayatkan
oleh as-Suyuthi dari Syu`aib al-Jabba’i. As-Suyuthi juga meriwayatkan nama
Ra’il binti Ra’ail dari Muhammad bin Ishaq.[15] As-Suyuthi
dan pentahqiq tafsirnya, Dr. Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki tidak
menjelaskan status keisra’iliyatan riwayat ini.
Masih
banyak lagi kitab-kitab tafsir yang mengungkapkan nama-nama di atas sebagai
nama buat istri al-Aziz yang menggoda Nabi Yusuf as. Sebagai penutup dalam
pembahasan ini, penulis sajikan tanggapan tafsir kontemporer mengenai nama
Zulaikha. Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau
lebih masyhur dengan nama Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa Alquran
tidak menyebutkan sama sekali nama istri al-Aziz bahkan nama al-Aziz itu
sendiri. Alquran sama sekali tidak mementingkan nama tersebut, karena Alquran
bukan kitab sejarah. Tujuan pengkisahan dalam Alquran, bukan untuk mengungkap
fakta sejarah, namun untuk menjadikannya sebagai ibrah, pelajaran, dan hikmah
yang dapat diambil dan diteladani dalam kehidupan.[16] Jadi
nama seperti ini tidak perlu disebutkan.
Ulama
tafsir kontemporer yang berasal dari Tunisia, al-Imam Muhammad ath-Thahir Ibnu
`Asyur dalam tafsirnya Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan
bahwa nama istri al-Aziz adalah Zalikha, dan nama ini sudah dikenal dalam
kitab-kitab Arab klasik. Sedangkan orang Yahudi menamainya dengan nama Ra’il.[17]
Dari
pembahasan di atas, nama istri al-Aziz, Ra’il binti Ra’ail berasal dari
Muhammad bin Ishaq, yang menurut Ibnu `Asyur berasal dari cerita orang Yahudi.
Artinya, nama ini termasuk dalam riwayat isra’iliyat. Sedangkan nama istri
al-Aziz, Zulaikha, Zulaikha’, Zulaikhah, atau Zalikha berasal dari Syu`aib
al-Jabba’i dan Wahab bin Munabbih. Untuk mengetahui status dua riwayat di atas,
sebaiknya dikaji terlebih dahulu siapa Muhammad bin Ishaq, Syu’aib al-Jubba’i
dan Wahab bin Munabbih.
Muhammad
bin Ishaq
Nama
panjangnya adalah Muhammad bin Ishaq bin Yasar bin Khiyar. Beliau adalah seorang
tabi’in, yang sempat bertemu dengan beberapa sahabat, diantaranya adalah Anas
bin Malik. Mengenai ketsiqahannya, ulama jarh dan ta’dil berbeda
pendapat. Sebagian mereka ada yang menjarhnya sehingga dianggap tidak tsiqah,
ada yang mentsiqahkannya namun tidak dijadikan hujjah, dan ada pula yang
menta`dilnya sehingga dianggap tsiqah dan dapat dijadikan hujjah.[18]
Imam
adz-Dzahabi menjelaskan bahwa hadis Muhammad bin Ishaq dapat diterima kecuali
dalam meriwayatkan kisah dan syair Arab karena riwayatnya sering terputus dan
banyak yang munkar. Adz-Dzhabi menceritakan dari Yahya bahwa Muhammad bin Ishaq
sering meriwayatkan riwayat dari Ahli Kitab, artinya isra’iliyat. Hal ini
diperkuat oleh Ibnu Abi Fudaik.[19] Ibnu
al-Madini menyatakan bahwa beliau menerima hadis dari Muhammad bin Ishaq
kecuali riwayat yang diriwayatkan dari Ahli Kitab.[20]
Syu’aib
al-Jabba’i
Tidak
banyak penjelasan Imam adz-Dzahabi ketika mengulas Syu’aib al-Jabba’i. Namun,
ada satu kata tegas dari adz-Dzahabi bahwa Syu’aib al-Jubba’i adalah matruk,
yakni hadisnya ditinggalkan.[21] Dengan
kata lain bahwa nama Zulaikha berasal dari seseorang yang hadisnya
ditinggalkan. Allahu a`lam.
Wahab
bin Munabbih
Wahab
bin Munabbih bin Kamil bin Siyaj bin Dzil Kibar al-Yamani ash-Shan’ani adalah
seorang Tabi’in. Jumhur ulama menganggap Wahab bin Munabbih sebagai orang yang tsiqah.
Namun demikian, beliau banyak meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat yang
berasal dari Ahli Kitab. Riwayat-riwayat tersebut banyak dimuat dalam
kitab-kitab tafsir, serta tidak sedikit dari riwayat isra’iliyat yang dibawanya
dikritisi oleh berbagai ulama.[22]
Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha
Tentang
pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha atau istri al-Aziz, Alquran sama sekali
tidak menyinggungnya. Sedangkan Bible menjelaskan bahwa Nabi yusuf menikah
dengan Asnat anak perempuan Potifera, seorang Imam di On, serta melahirkan dua
putra yang bernama Manasye dan Efraim. Tidak ada penjelasan dalam Bible
mengenai Asnat istri Potifar (al-Aziz) atau tidak. Tidak juga ada penjelasan
apa hubungan antara Potifera, ayah Asnat, dan Potifar, al-Aziz yang membeli
Yusuf.
Dalam
kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi
Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika
Nabi Yusuf keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara,
Firaun pada masa itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya.
Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz
meningga dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz,
Ra’il. Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf:
“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat
daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan
hasratmu”. Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis, “Wahai
orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu,
ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan
mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun
ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun
termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah
yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf
mendapatkan bahwa Ra’il masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang
anak laki laki, Afra’im (Efraim) dan Misya (Manasye).[23] Imam
ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan
riwayat ini.
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya
Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib,[24] Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim,[25] Imam
az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun
al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil,[26] dll.
Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah
lain dari Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di
sebuah jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala
puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat
kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.”
Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf mendapatinya mantan istri
al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak mampu menjamah perempuan.[27] Kisah
yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail bin `Iyadh.[28]
Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan
istri al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih,
yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada yang
mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti akan
dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada orang-orang,
mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami khawatir terhadapmu.”
Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak takut kepada orang (Yusuf)
yang takut kepada Allah.” Dia pun datang menghadap Yusuf dan berkata, “Segala
puji bagi Allah yang menjadikan hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.”
Ketika mantan istri al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji
bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.”
Yusuf memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia
mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah kesempatan ini
lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?” Mantan istri al-Aziz
pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku melakukan hal itu: pertama,
engkau adalah orang tertampan;kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga,
aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”[29]
Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang
panjang mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’
ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan Zulaikha’
senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena tangisannya. Zulaikha’
pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf
lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun menantinya. Sampai diusulkan kepadanya
untuk mengadukan nasib kepada Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya
karena perbuatan jahatnya terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’
mengatakan dengan suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa
menjadi budak karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena
ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk
membawa Zulaikha’ ke hadapannya. Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan segala
penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan cerita itu, dan
bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku? Zulaikha’ pun menjawab,
“Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.” Tangisan
Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang ke rumah. Yusuf terus berfikir akan
hal ini, hingga dia mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan kepada
Zulaikha’ dan berkata, “Jika engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika
engkau masih berkeluarga, aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku
berlindung kepada Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku
ketika aku masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau
menikahiku di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan
Zulaikha’ untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan. Lalu dia shalat dan berdoa
kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan dapat
melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’ dalam keadaan
perawan, karena suaminya dahulu impoten.
Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi
Yusuf sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah
merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah yang ada
dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi dari Wahab bin
Munabbih.[30] Walau
Imam al-Qurthubi tidak mengomentari keisra’iliyatan kisah ini, muhaqqiq tafsirnya,
Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa
kisah ini sama sekali tidak benar.[31]
Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari
Zaid bin Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan
perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.[32]
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf
dengan mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin
Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain
diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti
Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini
adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam
meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat nabi atau
kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini
berarti riwayatnya terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya penulis
menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan ulama
tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan
tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh
menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak
ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadis, yang
berkaitan dengan agama.
Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau
menolak riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama,
riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika
riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan
dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa
ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong
dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya
sebatas pendapat tabi’in saja.[33] Sisi
yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti,
riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Alquran, hadis, akidah, atau
merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri al-Aziz dan status
nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Yakin atau
tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu,
riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Alquran dan hadis-hadis baginda
Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti
ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status
keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti
ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.
Epilog
Terlepas
dari perbedaan pendapat di atas, penulis ingin kembali kepada permasalahan
awal, yakni rangkaian doa yang ada pada prolog:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ
بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ
يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ
جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً
وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ
وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan
perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan
Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha,
Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia
dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah
keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan
orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Nabi
Adam dan Hawa adalah pasangan suami istri berdasarkan Alquran dan hadis-hadis
shahih, serta Nabi Muhammad dan Khadijah juga pasangan suami istri berdasarkan
riwayat shahih dan sudah menjadi sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah.
Sedangkan Nabi Yusuf dan Zulaikha menjadi perdebatan diantara ulama.
Pertanyaannya, “Pantaskah pasangan Nabi yusuf dan Zulaikha masuk dalam
rangkaian doa di atas?”
Dengan
segala kekurangan, penulis berpendapat lebih baik pasangan Nabi Yusuf dan
Zulaikha tidak digunakan dalam rangkaian doa di atas. Setidaknya ada dua alasan
penulis mengambil pendapat ini. Pertama, status pernikahan Nabi Yusuf
dengan Zulaikha berdasarkan dari riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
keshahihannya. Kedua, sebuah kaidah mengatakan, “Khuruj minal Khilaf
mustahab, keluar dari perbedaan pendapat disukai.” Cara keluar dari perbedaan
pendapat dalam masalah ini adalah tidak menggunakannya.
Doanya menjadi:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ
بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ مُحَمَّدٍ
وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ
عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ
بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan
perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan
Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Muhammad Saw dan
Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat,
berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya
hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang
beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Allahu a’la wa a’lam.
oleh:
Muhammad Arifin Jahari
Alumni Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Alquran
Fakultas Islamic Theology al-Azhar University Cairo-Egypt
[5] Penulis merujuk
pada Bible bukan untuk membenarkan isi dan ceritanya. Sekali lagi tidak, karena
isi dan cerita yang ada dalam Taurat (Perjanjian Lama versi Kristen) dan Injil
sekarang penuh dengan distorsi. Namun, merujuk pada Bible atau buku-buku klasik
yang berkaitan dengannya menjadi penting dalam pembahasan isra’iliyat.
[6] Ayat tersebut
berbunyi:
وَقَالَ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْ مِصْرَ لِامْرَأَتِهِ أَكْرِمِي
مَثْوَاهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا
لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللَّهُ
غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan
orang yang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, “Berikanlah
kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi
kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikianlah Kami memberikan
kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan
kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf [12]: 21).