Sunday, November 3, 2013

Nabi Yusuf dan Zulaikha Sebagai Suami-Istri: Isra’iliyatkah?



Prolog
Setiap pasangan suami istri pasti berharap menjadi pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng sampai ke anak cucu. Sebab itu, banyak orang meminta kepada Allah untuk menyatukan pasangan suami istri layaknya Nabi Adam dan Hawa, Nabi Yusuf dan Zulaikha, serta Nabi Muhammad Saw dan Khadijah. Doa pun dirangkai dengan indah, sebagaimana sudah jamak:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
Banyak orang bertanya, dalam Alquran tidak disinggung sedikitpun tentang pernikahan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, bahkan Alquran menggambarkan bahwa Zulaikha adalah perempuan yang tidak baik, yang mendurhakai suaminya, serta menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan mesum. Pertanyaannya, “Benarkah Nabi Yusuf dan Zulaikha menikah, dan menjadi pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng ke anak cucu, sebagaimana yang diceritakan secara turun temurun?” Atau, “Apakah kisah ini hanya israliyat yang tidak berdasar?”
Terlepas dari ma’tsur atau tidaknya doa di atas, jika benar bahwa Nabi Yusuf pernah menikahi Zulaikha dan menjadi pasangan sejati, maka tidak ada masalah dengan rangkaian doa di atas. Tetapi, jika Nabi Yusuf tidak pernah menikahi Zulaikha atau diragukan pernikahan mereka, maka doa di atas juga diragukan. Bahkan, ada sebuahstatement yang berlebihan, “Jika Nabi Yusuf tidak pernah menikahi Zulaikha, lalu doa di atas digunakan, sama halnya mendoakan pengantin tersebut untuk mencintai istri orang lain, alias selingkuh.”
Dalam pembahasan yang sederhana ini, penulis ingin menjawab pertanyaan tersebut, dengan cara mendeteksi, “Apakah pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha bersumber dari riwayat-riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?” Allahul musta`an.

Definisi Isra’iliyat
            Kata isrâ’îliyât berasal dari kata isrâ’îl. Isrâ’îl adalah nama lain dari Nabi Ya`qub as. Isrâ’îl sendiri bermakna hamba Allah. Banî Isrâ’îl adalah anak cucu Nabi Ya’qub. Istilah Banî Isrâ’îl dikenal juga dengan sebutan bangsa Yahudi, jika mereka beriman kepada Nabi `Isa disebut Nasrani, dan yang beriman kepada Nabi Muhammad disebut muslim dan mukmin.[1]
            Riwayat isra’iliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Bani Isra’il atau bangsa Yahudi, dari kitab suci mereka, yakni Taurat, buku-buku penjelasannya, dari Talmud dan penjelasannya, kisah-kisah, dongeng, kurafat dan kisah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Terkadang, para peneliti mengaitkan kisah-kisah dan informasi yang berasal dari Nasrani (injil, surat-surat paulus, dan berbagai buku penjelasannya) termasuk dalam riwayat isra’iliyat.[2]
            Banyak riwayat dari Nabi Saw yang menjelaskan posisi umat Islam ketika berhadapan dengan riwayat-riwayat isra’iliyat; ada yang melarang, membolehkan dan tidak melarang sekaligus tidak membolehkan. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah, Nabi Saw bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
            “Sampaikan dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan. Siapa berdusta dengan sengaja terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
            Hadis pembolehan seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis, diantaranya Shahih al-Bukhari dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan at-Tirmidzi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan ad-Darimi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, dan Musnad Imam Ahmad dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh dan Abû Sa`îd al-Khudri, serta Shahih Ibnu Hibban dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh.
            Sedangkan hadis yang melarang adalah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِِِِ.
“Umar Ibnu al-Khaththab memberikan satu buku dari Ahli Kitab, lalu Nabi membacanya dan marah, serta bersabda, “Apakah kamu kagum dengan buku ini wahai anak al-Khaththab? Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sungguh yang aku berikan kepada kamu (Alquran) yang terang lagi murni. Janganlah kamu bertanya sesuatupun kepada Ahli Kitab, sehingga mereka mengabarkan kepada kamu yang benar lalu kamu dustai atau mereka kabarkan yang batil lalu kamu benarkan. Demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika Nabi Musa as hidup sekarang, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Imam Ahmad dalam al-Musnad).
Ibnu Hajar al-`Asqalani (w. 852 H), dalam kitabnya Fath al-Bari mengomentari hadis larangan ini sebagai larangan Nabi Muhammad Saw sebelum kokohnya ajaran dan hukum Islam.[3] Namun, setelah ajaran Islam kuat, keluarlah dari beliau hadis-hadis pembolehannya.
Hadis yang ketiga adalah hadis yang tidak membolehkan tidak pula melarang periwayatan isra’iliyat. Nabi Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا {آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} الْآيَةَ.
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
Tiga riwayat di atas seolah bertentangan, namun jika ditelusuri lebih dalam, sama sekali tidak ada pertentangan di antara tiga riwayat tersebut.

Hukum Meriwayatkan Israiliyat
            Dalam menanggapi tiga riwayat yang seolah bertentangan di atas, ulama tafsir mengklasifikasikan riwayat-riwayat isra’iliyat menjadi tiga kelompok. Pertama, riwayat-riwayat isra’iliyat yang bertentang dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini haram diriwayatkan jika tidak menjelaskan kebatilannya. Inilah yang dimaksud dalam larang Nabi pada hadis Umar bin al-Khaththab di atas. Diantara contoh riwayat seperti ini adalah kisah Nabi Sulaiman. Pada suatu saat Nabi Sulaiman ingin ke kamar mandi, dan menitipkan cincinnya kepada salah satu istrinya. Iblis pun menyerupai Nabi Sulaiman, lalu datang kepada istrinya dan meminta cincin yang dititipkan oleh Nabi Sulaiman. Istrinya menyangka yang datang adalah Nabi Sulaiman, dan memberi cincin tersebut. Dengan cincin itu, Iblis menguasai kerajaan Nabi Sulaiman dan memerintah dengan sesuka hatinya dan zalim.
            Ketika keluar dari kamar mandi, Nabi Sulaiman yang asli datang kepada istrinya untuk meminta cincin yang telah dititipkannya. Istrinya mengatakan, “Bukankah cincin tersebut telah kuberikan kepada Sulaiman!” Nabi Sulaiman yang asli pun terdiam dan hanya bisa pasrah. Sedangkan Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman terus menguasai kerajaan dengan zalim, sampai pada akhirnya istri Nabi Sulaiman curiga karena Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman tersebut menggauli istrinya dalam keadaan haidh, sedangkan Nabi Sulaiman yang asli tidak pernah menggauli istrinya dalam kaeadaan demikian.
            Tidak diragukan lagi bahwa kisah ini jelas bertentangan dengan Alquran dan sunnah, sehingga tidak sedikit pun dari riwayat ini dapat dijadikan hujjah. Bahkan harus dijauhkan dari kitab-kitab keislaman.
            Kedua, riwayat-riwayat isra’iliyat yang sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan, karena hadis pembolehan dari hadis Nabi di atas, “Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan.” Banyak kasus bahwa para sahabat menerima dan membenarkan cerita Ahli Kitab yang sesuai dengan Alquran atau sunnah, walaupun kebenaran itu hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran terhadap ayat Alquran atau hadis tersebut.
            Pada suatu hari, seorang Yahudi datang kepada Ali bin Abi Thalib, Ali pun bertanya, “Di mana neraka?” Orang Yahudi tersebut menjawab, “Di laut.” Lalu Ali berkomentar terhadap jawaban tersebut, “Jawabannya benar, karena Allah berfirman, “Dan apabila lautan dipanaskan.” (QS. At-Takwir [81]: 6). Ali membenarkan jawaban orang Yahudi tersebut walaupun hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran dari ayat itu.
            Ketiga, riwayat isra’iliyat yang tidak bertentangan dengan ayat Alquran atau sunnah, serta tidak pula sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan, walaupun tidak menerangkan keisra’iliyatannya. Inilah yang dimaksud dari hadis nabi:
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).[4]

Nama Zulaikha dalam Literatur
            Alquran tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lain. Alquran hanya menyebut “istri al-Aziz.” Allah berfirman:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

            “Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf [12]: 30).
            Tidak hanya Alquran yang tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lainnya. Perjanjian Lama juga tidak menyebut nama untuk istri al-Aziz tersebut. Bible, dalam Kitab Kejadian 37-50 yang berbicara kisah Nabi Yusuf secara lengkap, juga tidak menyinggung sedikit pun tentang nama istri al-Aziz atau Potifar istilah Bible.[5]
            Namun, kitab-kitab tafsir menyebutkan nama istri al-Aziz tersebut. Ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 21[6] para mufassir menyebutkan nama istri al-Aziz asebagai Zulaikha, Zulaikhah (menggunakan ta marbuthah), Zulaikha’ (mengunakan hamzah), Zalikha, dan Ra’il binti Ra’ail. Dengan sanad yang lengkap Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya Jami` al-Bayan `An Ta’wil Ay al-Qur’an menyebutkan nama istri al-Aziz adalah Ra’il binti Ra’ail. Nama ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Ishaq.[7]Ibnu Jarir tidak menjelaskan status riwayat ini lemah atau tidak, isra’iliyat atau tidak. Pentahqiq tafsir ini, Ahmad Abd ar-Raziq al-Bakri, Muhammad Adil Muhammad, Muhammad Abd al-Lathif Khalaf, dan Mahmud Mursi Abd al-Hamid, juga tidak menjelaskan hal demikian.
            Imam Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) dalam tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz adalah Ra’il binti Ra’ail. Nama ini beliau riwayatkan dari Muhammad bin Ishaq.[8] Ibnu Abi Hatim sendiri dan Muhaqqiq tafsirnya, As`ad Muhammad ath-Thaib tidak menjelaskan status riwayat tersebut.
            Imam Fakr ad-Din ar-Razi (w. 604 H) dalam tafsirnya at-Tafsir al-Kabir au Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz tersebut adalah Zulaikha atau pendapat lain Ra’il.[9] Untuk nama Zulaikha ar-Razi menisbahkan kepada banyak ulama terbukti beliau menggunakan kata qalu (mereka berkata), sedangkan nama Ra’il, ar-Razi menisbahkannya kepada pendapat yang tidak jelas siapa yang mengatakannya, sebab itu beliau menggunakan kata qila (dikatakan). Dalam menanggapi riwayat ini, Imam ar-Razi memberikan peringatan bahwa riwayat seperti ini tidak memiliki dasar dari Alquran atau riwayat-riwayat yang shahih. Oleh sebab itu, riwayat-riwayat seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah, terutama dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.[10]
            Dalam Tafsirnya, al-Jami` li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz adalah Ra’il atau Zulaikha’ (menggunakan hamzah). Nama Ra’il beliau nisbahkan kepada al-Mawardi, sedangkan nama Zulaikha’ dengan menggunakan kata qila (dikatakan).[11] Di tempat yang lain, beliau menisbahkan nama Zulaikha’ berdasarkan riwayat Wahab bin Munabbih.[12] Dalam penyebutan nama tersebut, al-Qurthubi dan pentahqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Mahmud Hamid Utsman, tidak menjelaskan keabsahannya.
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-`Azhimmenjelaskan bahwa nama istri al-Aziz tersebut adalah Ra’il binti Ra’ail. Ibnu Katsir menisbahkan riwayat ini kepada Muhammad bin Ishaq. Namun menurut yang lain – tanpa menyebutkan periwayatnya – namanya adalah Zulaikha.[13] Ibnu Katsir sendiri tidak menjelaskan apakah riwayat ini isra’iliyat atau tidak. Begitu juga pentahqiq tafsir tersebut, Muhammad Nashir ad-Din al-Albani, tidak menjelaskan status riwayat itu.
            Imam Ibnu Hajar al-`Asqalani (w. 852 H) dalam bukunya Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz yang masyhur adalah Zulaikha, namun ada yang mengatakan Ra’il.[14] Untuk penyebutan dua nama tersebut, Ibnu Hajar tidak menisbahkannya kepada satu periwayat pun.
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz tersebut adalah Zulaikhah (dengan menggunakan ta marbuthah). Nama ini diriwayatkan oleh as-Suyuthi dari Syu`aib al-Jabba’i. As-Suyuthi juga meriwayatkan nama Ra’il binti Ra’ail dari Muhammad bin Ishaq.[15] As-Suyuthi dan pentahqiq tafsirnya, Dr. Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki tidak menjelaskan status keisra’iliyatan riwayat ini.
            Masih banyak lagi kitab-kitab tafsir yang mengungkapkan nama-nama di atas sebagai nama buat istri al-Aziz yang menggoda Nabi Yusuf as. Sebagai penutup dalam pembahasan ini, penulis sajikan tanggapan tafsir kontemporer mengenai nama Zulaikha. Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih masyhur dengan nama Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa Alquran tidak menyebutkan sama sekali nama istri al-Aziz bahkan nama al-Aziz itu sendiri. Alquran sama sekali tidak mementingkan nama tersebut, karena Alquran bukan kitab sejarah. Tujuan pengkisahan dalam Alquran, bukan untuk mengungkap fakta sejarah, namun untuk menjadikannya sebagai ibrah, pelajaran, dan hikmah yang dapat diambil dan diteladani dalam kehidupan.[16] Jadi nama seperti ini tidak perlu disebutkan.
            Ulama tafsir kontemporer yang berasal dari Tunisia, al-Imam Muhammad ath-Thahir Ibnu `Asyur dalam tafsirnya Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan bahwa nama istri al-Aziz adalah Zalikha, dan nama ini sudah dikenal dalam kitab-kitab Arab klasik. Sedangkan orang Yahudi menamainya dengan nama Ra’il.[17]
            Dari pembahasan di atas, nama istri al-Aziz, Ra’il binti Ra’ail berasal dari Muhammad bin Ishaq, yang menurut Ibnu `Asyur berasal dari cerita orang Yahudi. Artinya, nama ini termasuk dalam riwayat isra’iliyat. Sedangkan nama istri al-Aziz, Zulaikha, Zulaikha’, Zulaikhah, atau Zalikha berasal dari Syu`aib al-Jabba’i dan Wahab bin Munabbih. Untuk mengetahui status dua riwayat di atas, sebaiknya dikaji terlebih dahulu siapa Muhammad bin Ishaq, Syu’aib al-Jubba’i dan Wahab bin Munabbih.
            Muhammad bin Ishaq
            Nama panjangnya adalah Muhammad bin Ishaq bin Yasar bin Khiyar. Beliau adalah seorang tabi’in, yang sempat bertemu dengan beberapa sahabat, diantaranya adalah Anas bin Malik. Mengenai ketsiqahannya, ulama jarh dan ta’dil berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang menjarhnya sehingga dianggap tidak tsiqah, ada yang mentsiqahkannya namun tidak dijadikan hujjah, dan ada pula yang menta`dilnya sehingga dianggap tsiqah dan dapat dijadikan hujjah.[18]
            Imam adz-Dzahabi menjelaskan bahwa hadis Muhammad bin Ishaq dapat diterima kecuali dalam meriwayatkan kisah dan syair Arab karena riwayatnya sering terputus dan banyak yang munkar. Adz-Dzhabi menceritakan dari Yahya bahwa Muhammad bin Ishaq sering meriwayatkan riwayat dari Ahli Kitab, artinya isra’iliyat. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Abi Fudaik.[19] Ibnu al-Madini menyatakan bahwa beliau menerima hadis dari Muhammad bin Ishaq kecuali riwayat yang diriwayatkan dari Ahli Kitab.[20]
            Syu’aib al-Jabba’i
            Tidak banyak penjelasan Imam adz-Dzahabi ketika mengulas Syu’aib al-Jabba’i. Namun, ada satu kata tegas dari adz-Dzahabi bahwa Syu’aib al-Jubba’i adalah matruk, yakni hadisnya ditinggalkan.[21] Dengan kata lain bahwa nama Zulaikha berasal dari seseorang yang hadisnya ditinggalkan. Allahu a`lam.
            Wahab bin Munabbih
            Wahab bin Munabbih bin Kamil bin Siyaj bin Dzil Kibar al-Yamani ash-Shan’ani adalah seorang Tabi’in. Jumhur ulama menganggap Wahab bin Munabbih sebagai orang yang tsiqah. Namun demikian, beliau banyak meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat yang berasal dari Ahli Kitab. Riwayat-riwayat tersebut banyak dimuat dalam kitab-kitab tafsir, serta tidak sedikit dari riwayat isra’iliyat yang dibawanya dikritisi oleh berbagai ulama.[22]

Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha
            Tentang pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha atau istri al-Aziz, Alquran sama sekali tidak menyinggungnya. Sedangkan Bible menjelaskan bahwa Nabi yusuf menikah dengan Asnat anak perempuan Potifera, seorang Imam di On, serta melahirkan dua putra yang bernama Manasye dan Efraim. Tidak ada penjelasan dalam Bible mengenai Asnat istri Potifar (al-Aziz) atau tidak. Tidak juga ada penjelasan apa hubungan antara Potifera, ayah Asnat, dan Potifar, al-Aziz yang membeli Yusuf.
            Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara, Firaun pada masa itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz meningga dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz, Ra’il. Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf:
“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu”. Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis, “Wahai orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu, ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf mendapatkan bahwa Ra’il masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki, Afra’im (Efraim) dan Misya (Manasye).[23] Imam ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan riwayat ini.
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib,[24] Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim,[25] Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil,[26] dll.
Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah lain dari Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di sebuah jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf mendapatinya mantan istri al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak mampu menjamah perempuan.[27] Kisah yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail bin `Iyadh.[28]
Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih, yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada yang mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti akan dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada orang-orang, mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami khawatir terhadapmu.” Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak takut kepada orang (Yusuf) yang takut kepada Allah.” Dia pun datang menghadap Yusuf dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Ketika mantan istri al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.” Yusuf memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah kesempatan ini lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?” Mantan istri al-Aziz pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku melakukan hal itu: pertama, engkau adalah orang tertampan;kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga, aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”[29]
Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang panjang mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’ ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan Zulaikha’ senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena tangisannya. Zulaikha’ pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun menantinya. Sampai diusulkan kepadanya untuk mengadukan nasib kepada Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya karena perbuatan jahatnya terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’ mengatakan dengan suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa menjadi budak karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk membawa Zulaikha’ ke hadapannya. Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan segala penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan cerita itu, dan bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku? Zulaikha’ pun menjawab, “Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.” Tangisan Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang ke rumah. Yusuf terus berfikir akan hal ini, hingga dia mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan kepada Zulaikha’ dan berkata, “Jika engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika engkau masih berkeluarga, aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku ketika aku masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau menikahiku di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan Zulaikha’ untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan. Lalu dia shalat dan berdoa kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan dapat melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’ dalam keadaan perawan, karena suaminya dahulu impoten.
Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi Yusuf sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah yang ada dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi dari Wahab bin Munabbih.[30] Walau Imam al-Qurthubi tidak mengomentari keisra’iliyatan kisah ini, muhaqqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa kisah ini sama sekali tidak benar.[31]
Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.[32]   
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya penulis menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadis, yang berkaitan dengan agama.
Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama, riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja.[33] Sisi yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti, riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Alquran, hadis, akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri al-Aziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Alquran dan hadis-hadis baginda Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.

Epilog
            Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, penulis ingin kembali kepada permasalahan awal, yakni rangkaian doa yang ada pada prolog:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”
            Nabi Adam dan Hawa adalah pasangan suami istri berdasarkan Alquran dan hadis-hadis shahih, serta Nabi Muhammad dan Khadijah juga pasangan suami istri berdasarkan riwayat shahih dan sudah menjadi sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Sedangkan Nabi Yusuf dan Zulaikha menjadi perdebatan diantara ulama. Pertanyaannya, “Pantaskah pasangan Nabi yusuf dan Zulaikha masuk dalam rangkaian doa di atas?”
            Dengan segala kekurangan, penulis berpendapat lebih baik pasangan Nabi Yusuf dan Zulaikha tidak digunakan dalam rangkaian doa di atas. Setidaknya ada dua alasan penulis mengambil pendapat ini. Pertama, status pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha berdasarkan dari riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Kedua, sebuah kaidah mengatakan, “Khuruj minal Khilaf mustahab, keluar dari perbedaan pendapat disukai.” Cara keluar dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah tidak menggunakannya.
Doanya menjadi:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ مُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Allahu a’la wa a’lam.

oleh: 

Muhammad Arifin Jahari
Alumni Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Alquran
Fakultas Islamic Theology al-Azhar University Cairo-Egypt




[5] Penulis merujuk pada Bible bukan untuk membenarkan isi dan ceritanya. Sekali lagi tidak, karena isi dan cerita yang ada dalam Taurat (Perjanjian Lama versi Kristen) dan Injil sekarang penuh dengan distorsi. Namun, merujuk pada Bible atau buku-buku klasik yang berkaitan dengannya menjadi penting dalam pembahasan isra’iliyat. 
[6] Ayat tersebut berbunyi:
وَقَالَ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْ مِصْرَ لِامْرَأَتِهِ أَكْرِمِي مَثْوَاهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

                “Dan orang yang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf [12]: 21).