Bolehkah rakaman video menjadi bukti
dalam kes perzinaan menurut Syariah Islam?
Rakaman video tidak boleh dijadikan bukti dalam kes
perzinaan. Sebab dalam kes perzinaan, hanya ada 3 (tiga) jenis pembuktian (al-bayyinat)
yang boleh digunapakai.
Tiga jenis pembuktian tersebut ialah:-
Pertama -,pengakuan
(al-iqrar), iaitu pengakuan dari pelaku zina dengan pengakuan yang jelas
(tanpa kesamaran), tanpa penarikan pengakuan. Untuk kemantapan (tatsabbut)
pengakuan boleh sampai empat kali;
Kedua - kesaksian
(asy-syahadah), yaitu kesaksian dari 4 (empat) orang laki-laki muslim
yang adil dan merdeka, dalam satu majlis yang menyaksikan perzinaan dengan
jelas.
Ketiga - hamilnya
seorang wanita yang tak bersuami, tanpa pengingkaran darinya. (Abdurrahman
al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal. 17-19; Ahmad Ad-Da’ur, Ahkamul
Bayyinat, hal. 19; Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami,
hal. 395-440).
Setelah menerangkan tiga macam pembuktian zina tersebut,
Syaikh Abdurrahman al-Maliki menegaskan tidak ada pembuktian yang lain untuk kes
zina selain yang tiga itu, misalnya kesaksian doktor bahwa seorang perempuan
sudah tidak dara/perawan lagi. (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat,
hal.19).
Bahkan andaikata hakim meyakini seratus peratus seorang wanita
telah berzina, dia tak boleh menjatuhkan hukuman jika tidak didokong dengan salah
satu dari tiga macam pembuktian tersebut.
Dalam masalah ini terdapat hadis sahih bahwa Rasulullah SAW
pernah satu masa, yakin bahawa seorang wanita telah berzina. Tapi beliau tidak
menjatuhkan hukuman, kerana tidak ada bukti. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA,
Rasulullah SAW bersabda,“Kalau saja aku boleh merajam seseorang tanpa bukti,
pasti sudah kurajam si Fulanah, karena telah nampak gelagat zina dari cara
bicaranya, gerak tubuhnya, dan orang yang pernah menggaulinya.” (HR Ibnu
Majah, no 2559) (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm,
hal. 1471, hadis sahih). (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat,
hal.19; Ahmad Ad-Da’ur, Ahkamul Bayyinat, hal. 26).
Dari semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa rakaman video
tidak boleh dijadikan bukti dalam kes perzinaan, meski pun itu sudah dibuktikan
keasliannya seratus peratus oleh para ahlinya. Sebab pembuktian kes zina secara
syar’i memang tidak sah, kecuali dengan salah satu dari tiga macam bukti di
atas.
Namun demikian, bukan alat bukti kes perzinaan, rakaman
video boleh dimanfaatkan sebagai sokongan Untuk mendapatkan pengakuan (al-iqrar)
dari mereka yang di tuduh berzina. Hal tersebut dibolehkan, selama cara yang
digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan paksaan (al-ikrah),
baik paksaan fisikal (seperti pukulan) maupun non fisikal (seperti ancaman).
Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah ikhtiyar (tidak adanya
paksaan). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal.
12).
Bolehnya berupaya memperoleh pengakuan, didasarkan pada
hadis Anas RA, bahwa pernah seorang Yahudi memecahkan kepala budak perempuan
dengan batu dan mengambil perhiasannya. Lalu budak perempuan yang hampir mati
itu didatangkan kepada Nabi SAW. Nabi SAW pun bertanya,”Siapa yang membunuhmu,
apakah si Fulan?” Perempuan itu mengisyaratkan jawaban “tidak” dengan gerakan
kepalanya. “Apakah si Fulan?” tanya Nabi SAW hingga beliau menyebut nama
seorang Yahudi. Perempuan itu mengiyakan dengan isyarat gerakan kepalanya. Nabi
SAW lalu minta dipanggilkan orang Yahudi itu dan diapun mengaku. Nabi SAW
kemudian memerintahkan memecahkan kepala Yahudi itu dengan dua batu. (HR
Tirmidzi dari Anas RA). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn
Hazm, hal. 1411, no 3031, hadis sahih).
Dalam riwayat Bukhari terdapat redaksi,”Lalu orang Yahudi
itu didatangkan kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW terus menanyai Yahudi itu hingga
dia mengakui perbuatannya,” (fa-utiya bihi al-nabiyyu S.A.W. fa-lam yazal
bihi hatta aqarra bihi). (M. Abdullah Mas’ari, Huquq al-Muttaham fi
Al-Islam, hal. 18).
Berdasarkan hadis itu, Ibnu Hazm menilai baik upaya untuk
memperoleh pengakuan dari tertuduh. Kata Ibnu Hazm,”Ini baik, sebab tidak ada
paksaan, juga tak ada pukulan.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz VI, hal.
311, masalah no 2173).
Upaya inilah yang di masa sekarang disebut dengan cross
examination (uji silang), yaitu mengajukan bermacam-macam pertanyaan kepada
tertuduh, oleh beberapa pemeriksa sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh
akan mengaku secara sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap
jawaban akan selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong
akan jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Mas’ari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18).
Dengan demikian, walaupun rakaman video bukan alat bukti kes
zina, namun ia boleh dimanfaatkan untuk memperoleh pengakuan. Para ahli
telematika, juga para ahli bidang lainnya yang relevan, dapat menggunakan video
itu untuk melakukan uji silang (cross examination) terhadap para
tertuduh pelaku zina dalam video itu. Setiap jawaban pengingkaran akan terus
dikejar dengan diuji silang dengan jawaban lain, sehingga tak ada satu celah
pun bagi tertuduh untuk melakukan kebohongan. Diharapkan tertuduh akhirnya akan
mengakui perbuatannya.
Kesimpulannya, rakaman video tidak boleh dijadikan bukti
dalam kes perzinaan. Namun rakaman video itu boleh dimanfaatkan sebagai upaya
memperoleh pengakuan (al-iqrar) dari tertuduh pelaku zina. Wallahu
a’lam.
Yogyakarta, 13 Juli 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi
No comments:
Post a Comment