Para fuqaha berbeza pendapat mengenai hukum khitan menjadi tiga versi pendapat, sebagaimana
diuraikan oleh Syaikh Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi dalam kitabnya Ahkamul
Jirahah Ath-Thibbiyah wa Al-Atsar al-Mutarabbatu ‘Alaiha, h. 161-162. Ringkasnya
seperti berikut :
Pertama, khitan hukumnya wajib atas laki-laki dan perempuan. Ini pendapat ulama
Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah. (Imam Nawawi, Al-Majmu’,
1/300; Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 1/103; Ibnu Juzzai, Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah, h.167).
Kedua, khitan hukumnya sunnah (tidak wajib) atas laki-laki dan juga perempuan.
Ini pendapat ulama Hanafiyah, Imam Malik, Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan
Imam Syaukani. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth, 1/156; Ibnu Juzzai, Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah, h.167; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 1/85; Imam Syaukani, Nailul
Authar, 1/294).
Ketiga, khitan wajib atas laki-laki, tapi
sunnah (tidak wajib) atas perempuan. Ini pendapat Imam Ahmad dalam riwayat
lain, sebagian ulama Malikiyah, dan ulama Zhahiriyah. (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’,
1/104; An-Nafrawi, Al-Fawakih Ad-Dawani, 1/461, Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
2/217).
Dari huraian di atas, nampak jelas bahwa para fuqaha
sepakat khitan bagi perempuan disyariatkan (masyru’) dalam Islam. (Ibnu
Hazm, Maratibul Ijma’, 1/157). Memang ada perbedaan pendapat mengenai
hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Tapi tidak ada satu pun fuqaha yang
berpendapat hukumnya makruh atau haram, atau dianggap tindakan kriminal yang
harus diperangi, seperti dakwaan kaum kafir dan kaum liberal. (Nida Abu Ahmad,
Hukm Al-Islam fi Khitan Al-Banin wa Al-Banat, h. 57; Abu Muhammad, Al-Khitan
Syariah Ar-Rahman, h. 16).
Setelah meneliti dalil-dalilnya, pendapat
ketiga adalah yang kuat (rajih), iaitu khitan wajib atas laki-laki, tapi sunnah
(tidak wajib) atas perempuan. Imam Ibnu Qudamah menyatakan,”Adapun hukum
khitan, hukumnya wajib atas laki-laki dan suatu kemuliaan (makrumah)
atas perempuan, tidak wajib atas mereka.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
1/141).
Dalil wajibnya khitan laki-laki, antara lain sabda
Nabi SAW kepada seorang laki-laki yang masuk Islam,”Buanglah darimu rambut
kekufuran dan berkhitanlah.” (alqi ‘anka sya’ra al-kufr wa [i]khtatin)
(HR Abu Dawud. Hadis hasan. Syaikh Al-Albani, Irwa’ul Ghalil, 1/120).
Redaksi hadis “berkhitanlah” (ikhtatin) menunjukkan hukum wajib, dengan qarinah
(indikasi) kalau laki-laki tidak berkhitan, tak akan sempurna thaharah-nya
ketika dia kencing. Padahal thaharah adalah wajib. Imam Ahmad berkata,”Jika
seorang laki-laki tidak berkhitan, maka kulit akan menutupi hujung zakar dan akan
melekat atau menyimpan najis yang menyebabkan seseorang itu sentiasa menanggung
najis dibahagian berkenaan.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 1/141)
.
Mengenai pensyariatan khitan perempuan,
dalilnya antara lain, Nabi SAW pernah bersabda kepada para perempuan
Anshar,”Hai para perempuan Anshar…hendaklah kamu berkhitan dan janganlah kamu
berlebihan dalam memotong.” (HR Al-Bazzar. Hadis sahih. Syaikh Al-Albani, Silsilah
Ash-Shahihah, 2/221). Nabi SAW juga pernah bersabda kepada perempuan tukang
khitan,”Jika kamu mengkhitan [perempuan], maka hendaklah kamu sisakan dan janganlah
kamu berlebihan dalam memotong.” (idza khafadhti fa-asymiy wa laa tanhakiy).
(HR Abu Dawud. Hadis sahih. Syaikh Al-Albani, Silsilah Ash-Shahihah,
2/344).
Bagi yang mewajibkan khitan perempuan, kedua
hadis di atas dianggap dalil wajibnya khitan atas perempuan, karena kaidah
ushuliyah menetapkan redaksi perintah (amr) menunjukkan hukum wajib (al-ashlu
fi al-amr lil al-wujub). (Maryam Hindi, Khitan Al-Inats Baina Ulama
Asy-Syariah wa Al-Uthaba, h. 59).
Namun, kaidah ushuliyah yang lebih sahih, redaksi
perintah (amr) hanya menunjukkan tuntutan melakukan perbuatan (al-ashlu
fi al-amr li ath-thalab), tidak otomatis menunjukkan hukum wajib. Yang
menentukan amr itu menunjukkan wajib atau mandub, adalah qarinah
yang menyertai amr tersebut. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyah
Al-Islamiyah, 3/212).
Maka dari itu, hadis di atas hanya menunjukkan
khitan perempuan adalah sunnah, bukan wajib. Sebab tidak terdapat qarinah
yang menunjukkan keharusan melaksanakan perintah (amr) dalam hadis di
atas. Tidak adanya qarinah yang menyertai suatu perintah, adalah qarinah bahwa
perintah yang ada menunjukkan hukum sunnah (mandub). (Atha bin Khalil, Taisir
Al-Wushul ila Al-Ushul, h. 25; M. Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul
Al-Fiqh, h. 340).
Kesimpulannya, khitan bagi perempuan hukumnya sunnah, tidak wajib. Wallahu
a’lam.
Yogyakarta, 11 April 2009
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
No comments:
Post a Comment