Salah
satu kesenangan saya adalah membaca buku-buku sejarah. Dari sejarah, saya
memperoleh banyak pelajaran, yang dengannya membuat saya berhati-hati dalam
melangkah. Saya semakin menyadari akan satu hal, bahwa jalan di dunia ini tidak
selamanya mulus dan indah. Ada kalanya berlubang, bergelombang, penuh onak dan
duri. Dari sanalah saya mengetahui mengapa seseorang dapat sukses, dan mengapa
yang lain tidak.
Saya
mengagumi ulama-ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Imam Ibnu al-Jauzy, Imam
Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan al-Banna karena ilmu yang mereka miliki, ketekunan
mereka dalam beribadah, keluhuran akhlak mereka dan penghargaan mereka terhadap
waktu. Imam Hasan al-Banna pernah mengatakan, kewajiban yang ada lebih banyak
daripada waktu yang tersedia. Pernyataan ini bukan pernyataan yang main-main,
melainkan sebuah pernyataan yang keluar dari mulut seorang insan yang
“bergelut” dengan waktunya dan sadar akan pentingnya waktu.
Cabang-cabang
ilmu pengetahuan mulai dari fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, tarikh,
tasawuf, filsafat, sastra Arab, hingga ilmu kedokteran, mereka kuasai dengan
baik. Bahkan mereka ahli pada semua bidang itu. Tak heran jika seorang Roger
Garaudy sangat mengagumi ilmu yang dimiliki para ulama Islam, yang sangat
banyak itu, yang tidak dimiliki ilmuwan-ilmuwan Barat. Kekagumannya itu
membuatnya masuk Islam. Ya, ini sungguh luar biasa. Siapapun orangnya, yang
tentu saja masih berakal sehat, pasti akan menyadari hal ini. Bagaimana mereka
menguasai banyak ilmu pengetahuan dalam usia mereka yang tergolong pendek?
Inilah pertanyaan yang mesti di jawab di sini.
Saya
berpikir, semua itu terjadi karena mereka sangat menghargai waktu. Sedetik pun
waktu tidak pernah mereka sia-siakan. Kalaupun ada waktu yang terbuang percuma,
mereka akan menyesal dan berusaha dikemudian hari hal itu tidak terulang lagi.
Setiap hari, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk jiwa,
raga, dan pikiran mereka. Ada seorang ulama yang menunggu kedatangan gurunya
dalam sebuah majelis, lantas kemudian ia isi waktu luang itu dengan shalat
sunah.
Imam Ibnu
al-Jauzy pernah kedatangan tamu yang membicarakan hal-hal yang tak berguna. Dia
meladeni mereka sembari menyerut pensil untuk menulis buku. Siang dan malam
beliau tidak henti-hentinya berpikir, menulis, mengajar dan membaca. Imam Ibnu
al-Jauzy pernah berkata, “Dari tanganku lahir dua ribu jilid buku dan di
tanganku juga telah bertaubat seratus ribu orang, dua puluh ribu orang di
antaranya masuk Islam.” Di antara karya-karyanya, Durratul Ikliil 4 jilid,
Fadhail al-Arab, al-Amstaal, al-Manfaat fi Madzahib al-Arba’ah 2 jilid,
al-Mukhtar min al-Asy’ar 10 jilid, at-Tabshirah 3 jilid, Ru’us al-Qawariir 2
jilid, Shaidul Khathir, Kitab al-Luqat (ilmu kedokteran) 2 jilid, dan
sebagainya.
Imam Ibnu
Taimiyah adalah seorang ulama yang waktunya tidak pernah luput dari berbuat
kebaikan. Hingga dipenjara sekalipun, ia tetap berusaha menulis, berceramah
kepada para napi, dan lain sebagainya. Beliau pernah berkata, “Apakah yang akan
diperbuat musuh-musuh terhadapku? Jika aku dipenjara, penjaraku adalah khalwah.
Jika aku diasingkan, pengasinganku adalah tamasya. Dan jika aku dibunuh,
kematianku adalah syahadah.” Sekalipun pena-penanya disingkirkan oleh pemerintah
tirani, dia tetap saja menulis walaupun dengan arang.
Jika
diberi umur yang panjang, niscaya mereka akan terus menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya. Namun kenyataan tidaklah terjadi demikian. Karena ilmu di
dunia ini sangatlah banyak dan tak mungkin umur manusia yang pendek, dapat
menguasai semuanya, para ulama akhirnya membuat pengurutan ilmu-ilmu apa saja
yang “wajib” dikuasai oleh kaum muslimin. Imam Ibnu Qudamah dalam bukunya
berjudulMukhtashar Minhajul Qashidin mengomentari hadits yang berbunyi, “Mencari
ilmu itu wajib atas setiap orang muslim,” dengan mengatakan bahwa yang dimaksud
ilmu wajib di sini adalah ilmu muamalah hamba terhadap Tuhannya. Muamalah yang
dibebankan di sini meliputi tiga macam: Keyakinan, perbuatan dan apa yang harus
ditinggalkan.
Saya
kemudian merenung tentang diri saya sendiri dan kebanyakan orang pada umumnya,
betapa banyak waktu yang telah kita buang percuma. Mungkin satu atau dua jam
waktu luang yang terbuang dalam sehari tidak akan kita rasakan dampak
negatifnya. Namun jika dikumpulkan dalam setahun atau bahkan dalam seumur
hidup, akan sangat terasa, betapa kita telah melalui banyak momen dengan hal
yang tidak berguna. Waktu-waktu itu begitu cepat berlalu dan tak dapat kembali
lagi. Sedetikpun ia tak mau. Pada akhirnya semua itu membuahkan penyesalan yang
berkepanjangan. Kita hanya membawa amal yang sedikit kehadapan-Nya.
Seorang
ulama shalih bernama Taubah bin ash-Shimmah biasa mengintrospeksi dirinya
sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh
tahun. Dia menghitung-hitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak
sebelas ribu hari lebih lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia tersentak dan
berkata, “Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa
sebelas ribu limaratus dosa?” Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu
pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, “Dia
sedang meniti ke surga Firdaus.” (Lihat Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Sebagian
orang terlalu banyak berharap dengan amal yang sedikit, mudah-mudahan dapat
masuk surga. Mereka mengacu pada hadits qudsi yang berbunyi, “Aku berada dalam
sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Karena itu hendaklah dia menyangka terhadap-Ku
menurut kehendaknya.” Mengomentari hadits ini, Imam Ibnu al-Qayyim dalam
kitabnya, ad-Daa’ wad-Dawaa, mengemukakan, memang Allah akan melaksanakan
sangkaan hambanya. Namun tidak dapat diragukan bahwa baik sangka hanya terjadi
jika ada kebaikan. Orang yang berbuat kebaikan adalah orang yang berbaik sangka
kepada Allah, bahwa Dia akan membalas kebaikannya dan tidak akan mengingkari
janji-Nya serta akan menerima taubatnya.
Adapun
kezhaliman, kedurhakaan dan hal-hal haram yang dilakukan orang yang buruk dan
intens dalam melakukan dosa-dosa besar, menghalanginya untuk berbaik sangka
terhadap Allah. Yang demikian dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang budak yang melarikan diri dan tidak lagi taat kepada tuannya, tentu
tidak berbaik sangka kepadanya. Dia tidak bisa memadukan tindakan yang tidak
baik dengan baik sangka. Orang yang buruk tentu merasa tidak respek, tergantung
dari keburukannya. Maka orang yang paling berbaik sangka terhadap Allah ialah
yang paling taat. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya orang
mukmin adalah orang yang berbaik sangka terhadap Tuhannya dan yang baik
amalnya. Sedangkan orang keji ialah yang berburuk sangka terhadap Tuhannya dan
buruk pula amalnya.”
Bagi
mereka yang menyadari sangat dekatnya kematian, niscaya akan sangat menghargai
waktu. Waktu kita yang berlalu dengan sia-sia, hendaklah menjadi cambuk, agar
kelak, dikemudian hari, tidak melakukan hal yang serupa. Kita bertekad kuat
untuk mengisi hari-hari dengan amal yang berkualitas guna memperoleh pahala dan
ganjaran yang abadi. Bagi seorang yang kaya harta, maka ia akan berusaha untuk
mewakafkan kekayaannya dan mendarmabaktikan dirinya untuk dakwah dan jihad fi
sabilillah. Sedangkan bagi seorang penulis, ia akan menulis buku yang bisa
dibaca oleh setiap orang setelahnya dan senantiasa beramal dengan pelbagai
kebaikan. Dari karya-karyanya, banyak orang yang dapat mengikuti jejak amalnya.
Itulah manusia yang tidak pernah mati. Betapa banyaknya manusia yang mati,
namun pada hakikatnya mereka selalu hidup.
No comments:
Post a Comment