Tuesday, March 18, 2014

15 Akibat Buruk Perbuatan Dosa



Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar kesan negatif dari dosa.  Antaranya ialah :

1. Terhalang dari ilmu yang haq (benar / lurus). Kerana ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu belajar dengan Al-Imam Malik rahimahullahu, Al-Imam Malik berasa kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i.   Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

2. Terhalang dari beroleh rezeki dan urusan menjadi sukar.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rezeki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3)

“Siapa yang bertakwa kepada Allah nescaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)

Meninggalkan takwa beerrti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

3. Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan syaitan.

4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Kerana ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.

Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, kerana kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.

6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkatannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Kerana kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati. Oleh kerananya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl: 21)

Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:

“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24)

7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf:

“Termasuk hukuman perbuatan jahat adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejahatan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. 

Demikian pula kejelekan….”

8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.

9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak  lagi (tidak sensitif/peka) merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.”(HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)

10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.  Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.  Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.  Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

11. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.
Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.

“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)
Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya kerana kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Kerana bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang 
mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

13. Maksiat akan merosakkan akal. Kerana akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.

Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”

Hal ini jelas sekali, kerana orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.

14. Bila dosa telah bertimbun, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”(Al-Muthaffifin: 14)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”[3]

15. Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Kerana malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” (Ghafir: 7-9)

Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 85-99. Semoga dapat menjadi peringatan.

Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesihatan, keamanan, ketenangan, rezeki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan nafas, ada nikmat yang tak terhingga. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)

Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.

Demikianlah keadaan manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik kerana tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan syaitan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Kerana perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat buruk bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.

Thursday, March 13, 2014

JUNDULLAH vs KARKUN - Siri 37



JUNDULLAH 25 October 2012 09:03

Dokrin yang telah ditanam dan dipasak dalam jiwa dan pemikiran pengikut tabligh selama mereka 'keluar khuruj' 40 hari/4 bulan telah berjaya melahirkan manusia pasif,konservetif dan jumud dalam memahami agama.

antara buktinya ialah:

1. mereka tidak boleh terima kritikan dari pihak lain yang menegur kesalahan mereka walaupun di hujjah dengan al quran dan hadith.Contohnya isu kitab munthakab hadis.APALAH SALAHNYA KALAU MEREKA BERKATA "TERIMA KASIH ATAS KEPRIHATINAN PIHAK TUAN MEMANTAU KESALAHAN KITAB TERSEBUT.KAMI AKAN USULKAN KEPADA MAJLIS SYURA KAMI AGAR MEREKA DAPAT MENGUMPULKAN SEMUA KITAB YANG SALAH CETAKAN ITU DI SELURUH NEGARA UNTUK DILUPUSKAN(dibakar) SECARA BESAR-BESARAN".

Contoh ayat....

2. Mereka banyak berhujjah dengan dalil-dalil bersifat umum tetapi gagal mendatangkan dalil yang lebih khusus merujuk keberadaan mengujudkan kelompok dakwah.Mereka hanya bersandarkan kitab2 yang ditulis ulama mereka sahaja sedangkan ia bukan kitab rujukan muktabar umat islam.Masih banyak lagi kitab2 lain yang lebih berautoriti sebagai sandaran beragama.

Contohnya mereka nak klimkan jemaah tabligh sama macam para sahabat yang berdakwah TETAPI mereka LUPA bahawa dakwah para sahabat berjaya meruntuhkan/menukar sebuah kerajaan yang taghut kepada kerajaan islam sebalik dakwah jemaah tabligh bersekongkol dengan kerajaan yang sekular,kafir,zalim dll.

TANG MANA YANG MEREKA KATAKAN CONTOHI DAKWAH NABI DAN PARA SAHABAT??????????????

3. MEREKA TIDAK DAPAT MEMBEZAKAN ANTARA IMAN DAN AQIDAH.Kebanyakkan dari Mereka jahil dalam bab ini.Itu sebab ayat2 atau slogan yang mereka tulis atau lafazkan kadang2 bunyi muktazilah,bunyi khawarij pun ada,bunyi jabariyah pun ada dll.

Reply

Khai Ridhwan 27 January 2014 09:12

Assalamualaikum wrt. Tuan yang mulia
Apa kabar, Semoga tuan sihat. nampaknya tuan begitu bersungguh dalam membuktikan sesuatu tentang jemaah tabligh.masyaallah, maha hebat Allah swt.
Jemaah tabligh yang tuan cuba nak huraikan disini sebenarnya merujuk pada siapa ye.. setahu saya jemaah tabligh tiada kat dunia, yang ada hanyalah orang awam dan ustaz-ustaz yang melaksanakan amalan tabligh, ada di kalangan mereka berpolitik yang menyokong PAS atau Umno dan ada juga dikalangan mereka yang tidak suka berpolitik atas alasan masing-masing.

Reply

JUNDULLAH 28 January 2014 23:07

wa'alaikum salam

Alhamdulillah,syukran

kami nak perbetulkan kesilapan kefahaman tuan bahwa jemaah tabligh merujuk kepada mereka yang menjadikan ulama di Deoband dan Nizamuddin India sebagai panutan mereka itulah yang di maksudkan dengan jemaah tabligh.Yang mengimamikan 6 usul prinsip yang di buat oleh seorang ulama Nizamuddin India maka itulah yang di maksudkan dengan jemaah tabligh.

Yang menetapkan kaedah khuruj 3,40 hari dan 4 bulan itulah yang dimaksudkan dengan jemaah tabligh.Yang menjadikan Maulana Ilyas sebagai idola itulah yang di maksudkan dengan jemaah tabligh.

Masalah ada ahli tabligh yang menyokong PAS,Umno dan sebagainya,ia lebih kepada kemahuan individu bukan perintah dari Syura tabligh.Kalau ia perintah sudah tentu tak ada yang jadi ahli Umno,aatas pagar dan lain-lain.

Itulah masalahnya....

Reply

Khai Ridhwan 29 January 2014 09:38

Assalamualaikum wrt.

Semoga Allah swt mengurniakan tuan kesihatan kerana dialah pemilik kesihatan.

Disini lah salah sangkaan tuan.Maaf.

Ulamak di Nizammuddin bukan lah anutan sebagaimana sangkaan tuan, mereka ialah ulamak yang bermazhab hanafi yang merasa bertanggungjawab untuk menggerakan kembali amalan tabligh di kalangan org islam khususnya dikalangan ustaz-ustaz dan amnya dikalangan orang awam di seluruh dunia. Orang yang berpengalaman pernah melakukan khuruj tak kira dari negara mana, mereka ini bukan lah Ahli jemaah Tabligh tetapi mereka ini orang islam sama seperti orang lain. Berpegang kepada mazhab masing-masing.

Syura yang dilantik hanya lah sebagai wakil bagi memantau amalan tabligh dapat dilaksanakan.Syura bukanlah ketua kapada jemaah tabligh sebab dalam tabligh tidak ada ahli.Syura hanya bertanggungjawab dalam hal-hal amalan tabligh. Jadi dalam hal-hal peribadi Syura hanya sekadar memberi nasihat bagi yang meminta nasihat tetapi keputusan tuan punya diri yang memilih.

Reply

JUNDULLAH 29 January 2014 13:43

kami rasa sdr lah yang tak faham dan keliru.Bagaimana seluruh ahli tabligh boleh mematuhi satu arahan dari ulama nizamuddin (baca syura),membaca satu buku (fadhail amal) dalam programnya,melantik satu ketua (maulana ilyas sbg hadraji pertama),mmatuhi satu usul (6 usul tabligh) lalu anda mendakwa itu bukan ORGANISASI??

Kalau dia bukan organisasi sudah tentu dia tidak menetapkan semua perkara diatas untuk dipatuhi oleh semua karkun.Sudah tentu dia memberi kebebasan kepada semua karkun untuk membaca apa saja kitab ulama yang sesuai dan mudah di dapati untuk berdakwah.

kami bagi analogilah supaya anda mudah faham.SEORANG ITU BOLEH DIKATAKAN SEORANG ISLAM BILA IA MEYAKINI RUKUN IMAN DAN RUKUN ISLAM,MENGERJAKAN SOLAT,MEGELUARKAN ZAKAT,MENJADIKAN AL QURAN DAN SUNNAH SEBAGAI PANDUAN HIDUP DLL.

Bolehkah kami bertabligh( berdakwah) TANPA keluar 3,40 hari atau 4 bulan?
Bolehkah kami bertabligh (berdakwah ) tanpa membaca kitab fadhail amal dan muntakab hadis?
Bolehkah kami bertabligh (berdakwah ) tanpa pergi ke india,pakistan dan bagladesh?

Kalau anda jawab BOLEH maka jemaah tabligh bukan organisasi.TETAPI jika anda jawab TIDAK maka jelaslah jemaah tabligh adalah organisasi seperti yang tercatat dalam website resmi Deobandi...

Reply

Khai Ridhwan 30 January 2014 13:01

Assalamualaikum wrt.

Apa kabar tuan semoga ALLAH swt. sihatkan tuan.

Perkara di atas bukan satu penetapan tapi satu penekanan , penekanan tersebut adalah bedasarkan keperluan ummat pada masa kini iaitu untuk hubungkan kembali hati umat islam yang telah dibalut dengan kegelapan yang telah terkurung dalam sangkar cinta dunia dengan kembali cintakan amal dan cinta akhirat samaada dikalangan orang berilmu dan juga dikalangan org awam. penekanan tersebut di buat dengan targhib tanpa ada paksaan sesiapa yang merasakan ia membina untuk dirinya dan keluarganya dan ummat sejagat maka dia bole hubungkan dirinya dengan amalan tersebut .

Bg membukti kan ketulenan keislaman seseorang itu disisi ALLAh swt. Maka rukun islam adalah syaratnya

Sedangkan perkara-perkara diatas bukan lah rukun dalam tabligh tetapi amalan dalam islam yang sepatutnya diusahakan dalam diri orang islam contoh 6 perkara tujuannya supaya menjadi kayu pengukur bg ummat islam dan matlamat untuk diusahakan dalam kehidupan semasa hidup di dunia dan dipersembahkan dan di hadapan ALLAH di akhirat kelak

Tuan bole bertabligh tanpa keluar 3h,40 atau 4 bln tapi tuan tidak akan dapat menjiwai perjuangan tuan apatah lagi perjuangan nabi-nabi álaihissalam dan para sahabat r.anhum
Tuan bole berdakwah tanpa membaca kitab tersebut tapi ditakuti tuan tidak hikmah dalam dakwah tuan.
Tuan bole bertabligh tanpa pergi kesana tetapi.. nak tau tanya lah org dan berpengalaman lama dalam amalan tabligh.

Reply

JUNDULLAH 30 January 2014 13:59

Anda tulis:

[Tuan bole bertabligh tanpa keluar 3h,40 atau 4 bln tapi tuan tidak akan dapat menjiwai perjuangan tuan apatah lagi perjuangan nabi-nabi álaihissalam dan para sahabat r.anhum
Tuan bole berdakwah tanpa membaca kitab tersebut tapi ditakuti tuan tidak hikmah dalam dakwah tuan.
Tuan bole bertabligh tanpa pergi kesana tetapi.. nak tau tanya lah org dan berpengalaman lama dalam amalan tabligh.]

Dari tulisan anda di atas bermakna anda tetap berkeyakinan hanya Jemaah tabligh shj yang berdakwah@bertabligh yang ikut cara para Nabi dan para sahabt?

Ini bermakna jemaah lain tidak berdakwah ikut sunnah....betul kan??
jemaah lain tidak ada hikmah sebab tak baca kitab fadhail amal?
Hanya orang tabligh India sahaja yang berpengalaman dlm berdakwah?

Sungguh lucu keyakinan anda itu......

Thursday, January 9, 2014

HUKUM BERAMAL DENGAN HADIS DAIF



HUKUM BERAMAL DENGAN HADIS DAIF , MENURUT PANDANGAN ULAMAK

بسم الله الرحمن الرحيم

Apa yang berlaku pada hari ini ialah timbulnya satu puak yang mendakwa mereka adalah pejuang sunnah , tauhid dan tajdid.mereka sangat mempertikaikan hadis daif seolah – seolah hadis daif itu jatuh ketahap hadis maudu’ ( palsu ) dan menganggap beramal dengan hadis daif adalah satu perbuatan yang keji.tidak hairanlah kalau mereka benar-benar menghentam ahli – ahli sufi dan tasauwuf hanya kerana mereka berpegang pada hadis daif. Tidak ketinggalan juga yang menjadi mangsa mereka ialah Jemaah tabligh. Pernah sekali aku duduk mendengar kuliah seorang ustaz yang meyindir jamaah tabligh di sebabkan mereka membaca kitab fadail amal yang dikarang oleh maulana zakaria kandahlawi seorang ulamak tersohor di india kerana ada hadis daif didalamnya.apalah salahnya orang – orang tabligh membaca dan menela’ah kitab itu hanya sekadar untuk menghairahkan mereka dalam beribadah kepada Allah , bukannya untuk berhujjah menetapkan sesuatu itu halal ataupun haram. Dengan adanya sedikit kelapangan, ingin aku menulis serba sedikit mengenai hadis daif ini.

Menurut pendapat kebanyakan ulamak , hadis terbahagi kepada tiga darjat :
1 ) sahih

2 ) hasan

3 ) daif

Pembahagian tersebut dibuat ialah kerana sekiranya hadis itu mempunyai sifat – sifat yang tinggi untuk diterima maka dinamakan hadis sahih atau sifat – sifatnya yang sederhana maka dinamakan hadis hasan,atau tidak mempunyai sifat sahih dan hasan maka dinamakan hadis daif.disini aku hendak memfokuskan hadis daif.hadis daif ialah hadis yang tidak memenuhi dengan lengkap syarat-syarat hadis sahih , dalam erti kata yang lain , ada kesahihan dalam hadis tersebut , tetapi ia tidak sempurna.oleh itulah para ulamak memasukkannya didalam senarai hadis yang maqbul ( yang diterima ).

Hadis daif terbahagi kepada dua :

Pertama : kedaifannya boleh diperkuatkan dengan hadis daif yang sama tetapi melalui jalan – jalan periwayatan yang lain dengan syarat perawi yang daif itu lemah dari segi ingatannya ( hafalannya ) atau kedaifannya disebabkan ia meriwayatkan secara mursal ( iaitu tidak disebutkan nama sahabat nabi dalam rangkaian sanad ).didalam masalah ini , jika terdapat hadis yang sama kandungannya , tetapi melalui jalan-jalan periwayatan yang lain , maka hadis tersebut akan naik tarafnya ( martabatnya ) kepada HASAN LIGHOIRIHI ,dengan itu hadis tersebut diketogorikan didalam hadis maqbul ( diterima ) dan boleh digunakan didalam hujjah sehingga didalam soal hukum hakam.

Kedua : kedaifannya tidak dapat diperkuatkan , walaupun mempunyai banyak jalan periwayatannya . ia dinamakan sebagai al wahi ( sangat lemah ).perkara ini akan berlaku jikalau perawinya itu ternyata seorang yang fasiq atau dituduh berbohong.hadis seperti ini , ulamak mengatakan bahawa : jika diperkuatkan dengan bukti-bukti dan riwayat-riwayat yang lain,maka tarafnya naik melebihi taraf hadis munkar atau hadis yang tidak ada asalnya.pada ketika itu ia boleh diamalkan dalam soal fadilat-fadilat amal.ia tidak boleh diamalkan dalam hal aqidah dan hukum hakam.sesetengah ulamak mengatakan ia juga tidak boleh dijadikan rujukan untuk penafsiran al quran.

Dengan itu , beramal dengan hadis daif dalam segala jenis amalan yang berbentuk targhib dan tarhib , dalam soal adab , sejarah , ketatasusilaan , kisah tauladan dan seumpamanya adalah dibolehkan.

Perkara ini telah disepakati ( ijma’ ) oleh para ulamak seperti yang dinukilkan An-Nawawi , Ibn Abdul Barr dan selain mereka. Malah Imam Nawawi menukilkan pandangan ulamak bahawa dalam hal – hal tersebut disunnatkan beramal dengan hadis daif . ( perkara sunnat yang termasuk dalam himpunan usuluddin dan hukum hakam )
Bagi pandangan Ibnu Hajar , Al Sakhawi dan selainnya mengatakan : disyaratkan bagi penerimaan hadis daif dalam perkara – perkara terbabit, ianya jangan terlalu kuat kedaifannya. Ia hendaklah dijadikan sebagai asas yang termasuk dalam kaedah syarak yang menyeluruh dan hendaklah hadis tersebut tidak bercanggah dengan hadis yang sahih.

Didalam membincangkan hukum-hukum berkaitan hadis daif , Abu Al Sheikh Ibn Hibban dalam kitabnya an nawaib meriwayatkan secara marfu’ hadis Jabir yang berbunyi : “ barang siapa yang sampai kepadanya sesuatu daripada Allah yang memuatkan sesuatu fadilat , lalu dia beramal dengan keimanan terhadapnya serta mengharapkan ganjaran pahalanya , maka Allah memberi kepadanya yang demikian itu , sekalipun sebenarnya bukan begitu”

Hadis diatas adalah punca asas yang besar bagi ulamak untuk membincangkan tentang hadis daif.

Sesetengah ulamak ada juga menjadikan hadis daif sebagai hujjah, sepertimana yang dinukilkan oleh ulamak daripada Imam Ahmad bin Hanbal bahawa dalam soal hukum hakam , beliau berpegang dengan hadis daif ( jika ditampung kedaifan tersebut dengan kemasyuran hadis terbabit )beliau juga mengutamakan hadis daif daripada pandangan .

Imam Al Zarkasyi menukilkan bahawa ulamak hanafiyah juga lebih mengutamakan hadis daif daripada pandangan akal. Begitu juga mazhab Abu Daud , mereka mengutamakan hadis daif berbanding penggunaan akal.

Oleh itu ulamak sepakat ( ijma’ ) membolehkan beramal dengan hadis daif dalam bab targhib dan tarhib . tidak ada yang menyanggahnya kecuali Ibn Al Arabi sepertimana yang dinukilkan oleh Ibn Solah , namun tidaklah mutlaq.sebenarnya tidak ada percanggahan antara beliau dengan ijma’ ulamak dalam hal keharusan beramal dengan hadis daif jika kena pada tempatnya. Penolakan beliau terhadap hadis daif hanya terbatas kepada alasan – alasan yang diberikannya sahaja.

Sebenarnya untuk menentukan sama ada hadis itu sahih atau hasan atau daif diukur secara zahir terhadap nama-nama yang terdapat didalam sanad.hadis –hadis, sama ada sahih atau hasan atau daif tidaklah ditentukan dari segi hakikat , kerana yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah jua.

Ulamak hadis mengatakan bahawa : mungkin ada di antara hadis yang sahih,pada hakikatnya ia adalah daif dan ada di antara hadis yang daif , pada hakikatnya ia adalah sahih . yang menjadi kewajipan kita ialah membuat kajian dan berijtihad.
Sebelum aku mengakhiri perbincangan ini , ingin aku tinggalkan beberapa pendapat ulamak yang mengharuskan beramal dengan hadis daif .

1 . Ibn Mahdi menyebut didalam kitab Al Madkhal : Apabila kami meriwayatkan daripada Nabi SAW tentang halal haram dan hukum hakam , maka kami akan memperketatkan sanad-sanadnya dan kami akan membuat pemeriksaan terhadap rijalnya ( nama-nama perawi ) . tetapi apabila kami meriwayatkan hal-hal berkaitan fadilat , ganjaran pahala dan seksa , maka kami mempermudahkan sanad-sanadnya dan kami bertolak ansur dengan rijalnya.

2 . Imam Ramli ada menyebut : hadis-hadis yang terlalu daif ( iaitu hadis yang dinamakan al wahiah ) apabila sebahagiannya bergabung dengan sebahagian yang lain , maka ia boleh dijadikan hujjah dalam bab ini ( fadilat , nasihat , sejarah dan seumpamanya ).

3 . Imam An Nawawi menyebut didalam kitab Al Azkar : para fuqaha’ dan ahli hadis mengatakan harus dan sunnat beramal dalam soal fadilat , targhib dan tarhib dengan hadis yang daif selagi ianya bukan hadis maudu’ ( palsu ).

Hanya ini sahaja yang dapat aku kumpulkan pandangan ulamak yang mengharuskan beramal dengan hadis daif , mungkin banyak lagi , namun kerana kurangnya kelapangan tidak dapat aku tuliskan semuanya.
Sekian…………………….
والله اعلم بالصواب

Monday, December 16, 2013

Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi



Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam

Prolog : Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah. Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib.
Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallammenderita sakit yang cukup serius.[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa[2]. Beliau sakit selama 10 hari,[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awwal[4] pada usia 63 tahun.[5] Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al-Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih tersisa.[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.[7] Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat :
هلموا أكتب لكم كتابًَا لا تضلوا بعده
”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan : (حسبنا كتاب الله) ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya tersebut. Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang-orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah.[9] Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti».
Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau.[10] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti.
Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
مروا أبا بكر فليصل بالناس
”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.
’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :
إن أبا بكر رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن
”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”.[11]
Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat.[13]
Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya :
إن عبدًا عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة
”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.
Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.[14]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir.
Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :
ليس على أبيك كرب بعد اليوم
”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.[15]
Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.[16]
Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.[17]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda :
لا إله إلا الله إن للموت سكرات
”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.[18]
Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :
مع الذين أنعم الله عليهم
”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.[19]
Lalu beliau pun berdoa :
اللهم في الرفيق الأعلى
”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”.
’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).[20]
Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa  - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun kemudian berkata :
أما بعد، من كان منكم يعبد محمدًا فإن محمدًا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله فإن الله حي لا يموت. قال الله : (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ)
Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”(QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21]
Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata :
يا أبتاه أجاب ربًا دعاه.
يا أبتاه من جنة الفردوس مأواه.
يا أبتاه إلى جبريل ننعاه.
”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu
        Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu
Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22]
Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya.
Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin.
[selesai – diambil dari kitab As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.
1.          Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
((أُدْعُوا لِي أَخِي))، فَأَتَيتُهُ، فَقَالَ : ((أَدْنُ مِنِّي))، فَدَنَوْتُ  مِنْهُ، فَاسْتَنَدَ إِلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ مُسْتَنِدًا إِلَيَّ، وَإِنَّهُ لَيُكَلِّمُنِيْ حَتَّى إِنَّ رِيْقَهُ لَيُصِيْبُنِيْ
”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”.
Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia adalah pendusta.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].
2.          Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain :
عَلِّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ بَابٍ كُلُّ بَابٍ يَفْتَحُ أَلْفَ بَابٍ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”.
Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat-saat kematian beliaushallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.
3.          Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata :
مَا آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ عُمَرُ : سَلْ عَلِيًا.....
”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662]. Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk. Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidak tsiqah”. Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”. Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].
4.          Hadits :
قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : أَرَأَيْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْفِيَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ أَحَدٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، تُوْفِيَ وَإِنَّهُ لَمُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِ عَلِيّ
Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana penjelasan sebelumya. Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, dia majhul tidak diketahui keadaannya.
5.          Hadits ’Ali bin Al-Husain :
قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”.
Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Diamatrukul-hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.
6.          Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata :
تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حُجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”.
Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata : ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].
7.          Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ عَلِيٌّ لَأَقْرَبُ النَّاسِ عَهدًا بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....
“’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul-Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.
8.          Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata :
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”.
Hadits ini adalah dla’if, di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].
Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalah munkar”.
Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar. Diantaranya hadits :”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”[Al-Miizaan, 1/623].
Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabishallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].

Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.


[1]    Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2]    Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul-Baariy, 8/129].
[3]    Sulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4]    Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliaushallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/150).
[6]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[7]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[9]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/132).
[10]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11]  Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12]  Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14]  Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/hasyiyah no. 3); danTirkatun-Nabiy (ق.أ.ب) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[16]   Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/139).
[18]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/144).
[19]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136).
[20]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/145).
[22]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[23]   Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats-Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30.