(Oleh: Ustadz Abu Abdillah al-Atsari)
Definisi
Bohong
Raghib al-Ashfahani
berkata:
“Asal jujur dan bohong
adalah dalam perkataan, baik itu pada perkara yang telah lampau, akan datang,
atau berupa sebuah janji. Dinamakan bohong karena ucapannya menyelisihi apa
yang ada di dalam hatinya.”
(Fathul Bari, 10/623).
Berkata Imam Nawawi:
“Ketahuilah, madzhab Ahlus
Sunnah berkata bahwa bohong adalah mengabarkan sesuatu yang menyelisihi
kenyataannya, sama saja engkau sengaja atau tidak sengaja. Orang yang berbohong
dengan tidak sengaja, maka tidak ada dosanya, akan tetapi ia akan berdosa
apabila melakukannya dengan sengaja.”
(Al-Adzkar, hal. 326, lihat
pula Al-Adab asy-Syar’iyah, 1/53)
Hukum
Berbohong
Ketahuilah, dalil-dalil
dari Kitab dan Sunnah yang menegaskan haramnya berbohong secara umum sangat
banyak. Bohong termasuk dosa yang jelek dan aib yang tercela. Umat ini telah
sepakat akan keharaman berbohong, ditambah lagi dengan adanya dalil-dalil yang
sangat banyak dalam masalah ini. (Al-Adzkar, hal. 324).
Celaan
bagi orang yang berbohong
1. Tidak
mengindahkan Perintah Allah
Allah memerintahkan seluruh
hamba-Nya agar tidak mengikuti sesuatu yang tidak ada ilmunya. Orang yang
berbohong berarti telah memperturutkan hawa nafsu untuk mengikuti apa yang
tidak dia ketahui, dan hal ini terlarang dengan tegas sebagaimana dalam
firman-Nya:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (Al Israa’: 36)
Imam asy-Syinqithi berkata:
“Allah melarang dalam ayat
yang mulia ini agar manusia tidak mengikuti apa yang dia tidak mempunyai
pengetahuan di dalamnya. Termasuk di dalam hal ini adalah perkataan orang yang
berkata: ‘Saya telah melihat’, padahal dia belum melihatnya. ‘Saya telah
mendengar’, padahal dia belum mendengarnya. ‘Aku tahu’, padahal dia tidak
mengetahuinya. Demikian
pula orang yang berkata tanpa ilmu dan orang yang mengerjakan amalan tanpa
ilmu, tercakup pula dalam ayat ini.” (Adhwa’ul Bayan, 3/145)
2.
Perintah berbuat jujur, larangan akan kebalikannya
Apabila Allah memerintahkan
sesuatu, maka mengandung konsekuensi larangan akan kebalikannya. Perintah
berbuat jujur, berarti larangan berbohong. Perhatikanlah fiman Allah berikut
ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar.” (At-Taubah: 119)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
berkata:
“Firman-Nya ‘Dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar’, yaitu di dalam perkataan, perbuatan, dan
dalam keadaan mereka. Ucapan yang terlontar dari mereka benar dan jujur,
tiadalah perbuatan dan keadaan mereka kecuali benar, jauh dari rasa malas,
selamat dari maksud jahat, berupaya ikhlas dan niat yang shalih. Sesungguhnya
kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan kepada kebaikan,
dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 312).
Demikian pula Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memuji sifat jujur dan mencela
sifat bohong. Cermatilah hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah
mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada
kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai
seorang pembohong.” (HR. Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607)
3. Petaka
lisan
Kata orang, lisan adalah
daging tak bertulang, apabila manusia tidak menjaga lisannya, maka
kebinasaanlah yang ia dapat. Ingatlah selalu, tidak ada satu ucapan pun yang
keluar dari mulut kita, kecuali ada malaikat yang mencatat. Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
4. Tanda
orang munafik
Berbohong adalah kebiasaan
orang munafik. Orang munafik akan selalu menampakkan sesuatu yang menyelisihi
apa yang ada dalam benaknya, di antaranya adalah dengan berbohong. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Tanda orang munafik ada
tiga: Apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya
dia khianat.” (HR. Bukhari no. 6095, Muslim no. 59).
5.
Kebinasaan bagi yang berbohong
Berbohong tidaklah
dibenarkan, baik sungguh-sungguh ataupun sekedar main-main saja. Sering kita
lihat, orang kalau sudah kumpul dengan temannya akan berupaya membuat senang
dan tertawa teman-temannya walaupun harus berbohong! Tentunya hal ini tidaklah
dibenarkan juga, mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berbunyi:
“Celakalah orang yang
berbohong agar orang lain tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu
Dawud no. 4990, Tirmidzi no. 2315, Darimi no. 2705, Ahmad 5/7. Dihasankan oleh
al-Albani dalam al-Misykah no. 4834).
Sahabat mulia Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bohong
tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh maupun sekedar main-main.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/363).
6. Adzab
yang pedih
Inipun termasuk celaan dan
ancaman bagi orang yang berbohong, renungilah kisah dalam hadits berikut ini,
bahwa berbohong bukan sekedar dosa yang ringan!
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada suatu malam aku
bermimpi didatangi dua orang laki-laki, kemudian keduanya membawaku ke sebuah
tempat yang suci. Di tempat itu aku melihat dua orang yang sedang duduk dan ada
dua orang yang sedang berdiri, di tangan mereka ada sebatang besi. Besi itu ditusukkan ke tulang rahangnya sampai tembus tengkuknya.
Kemudian ditusukkan besi itu pada tulang rahangnya yang lain semisal itu juga,
hingga penuh dengan besi…
Akhirnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “Kalian telah mengajakku berkeliling, sekarang
kabarkan kepadaku peristiwa demi peristiwa yang telah aku lihat.” Keduanya
berkata: “Adapun orang yang engkau lihat menusuk rahangnya dengan besi, dia
adalah seorang pendusta, berkata bohong hingga dosanya itu memenuhi penjuru langit.
Apa yang engkau lihat terhadapnya akan terus diperbuat hingga hari kiamat.”
(HR. Bukhari no. 1386,
Ahmad 5/14).
Kebohongan
yang paling bohong
Bohong bisa dengan berbagai
cara. Di antaranya adalah dengan menceritakan mimpi yang sebenarnya dia tidak
melihat mimpi itu. Takutlah wahai saudaraku, janganlah engkau terbiasa
menceritakan mimpi yang engkau tidak melihatnya, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh kedustaan yang
paling dusta adalah menceritakan mimpi yang tidak ia lihat.”
(HR. Bukhari no. 7043,
Ahmad 2/96).
Berdusta
terhadap Allåh dan Råsul-Nya
Sesungguhnya tingkah polah
orang-orang yang ingin menghancurkan agama ini sangat beragam, mulai dari orang
yang menolak Sunnah dengan mencukupkan berpegang pada Al-Qur’an, atau orang-orang
yang menerima sebagian Sunnah dan menolak sebagian yang lain. Yang lebih parah
dari semua adalah orang-orang yang berbuat kedustaan terhadap agama yang hanif
ini. Mereka berani berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Berikut ini sedikit
penjelasan tentang bahayanya berdusta atas nama Allah dan Rasul.
1.
Berdusta terhadap Allah
Tidak diragukan lagi
berdusta atas Allah merupakan dosa yang paling besar dan perbuatan yang paling
jelek. Bahkan orang yang berani berdusta terhadap Allah berarti telah mengekor
para pendahulu mereka dari kalangan ahli kitab. Allah berfirman:
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78).
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78).
Sangat banyak ayat-ayat
Allah yang mengancam orang yang berdusta terhadap-Nya. Di antaranya Allah
berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al-An’aam: 144)
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al-An’aam: 144)
Imam ath-Thabari berkata:
“Maka siapakah yang lebih
zhalim terhadap dirinya, jauh dari kebenaran, daripada orang yang membuat
kebohongan terhadap Allah? Masuk dalam ayat ini pula adalah mengharamkan apa
yang tidak diharamkan Allah, dan menghalalkan apa yang tidak dihalalkannya.”
(Tafsir ath-Thabari, 8/68).
Firman Allah yang lain:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” (Al-An’aam: 157).
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” (Al-An’aam: 157).
Di antara
bentuk berdusta atas Allah adalah menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu,
memoles ayat untuk kepentingan hawa nafsunya! Ketahuiolah
wahai saudaraku seiman, generasi terbaik umat ini sangat berhati-hati untuk
menafsirkan ayat tanpa ilmu.
Abu Bakar ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Bumi manakah yang dapat
kupijak dan langit manakah yang dapat menaungiku bila aku berbicara tentang
Kitabullah tanpa ilmu?”
(Majmu’ Fatawa, 13/371).
Tabi’in yang mulia Masyruq
berkata:
“Hati-hatilah kalian dalam
menafsirkan Al-Qur’an, karena hal itu merupakan periwayatan tentang Allah.”
(Majmu’ Fatawa, 13/374)
Syaikhul Islam mengomentari
atsar-atsar di atas:
“Atsar-atsar yang shahih
ini dan yang semisalnya dari para imam salaf, dibawa pada keberatan mereka
untuk berbicara tentang tafsir yang mereka tidak tahu ilmunya. Adapun orang
yang berbicara tafsir dengan ilmu yang ia miliki secara bahasa dan syar’i, maka
tidaklah mengapa. Inilah yang wajib ditempuh oleh setiap orang, wajib baginya diam dalam perkara yang ia tidak punya ilmu
tentangnya, demikian pula wajib
menjelaskan bagi yang ditanya dan ia mengetahui permasalahan tersebut.”
(Majmu’ Fatawa, 13/374).
Demikian pula, termasuk perusak dan penghancur agama ini adalah banyaknya
orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Tidak sedikit orang yang
berfatwa tanpa ilmu, menyitir ayat-ayat Allah lalu menafsirkan dengan akalnya
yang cekak! Fa innaa lillah wa innaa ilaihi raaji’uun.
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raaf: 33).
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raaf: 33).
Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Allah mengurutkan
keharaman-keharaman menjadi empat tingkatan. Dia memulai dengan yang paling
ringan yaitu perbuatan keji, kemudian yang lebih berat keharamannya yaitu dosa
dan kezhaliman, selanjutnya urutan yang ketiga yang lebih besar keharamannya
dari kedua di atas yaitu kesyirikan, dan diakhiri dengan yang paling berat
keharamannya dibandingkan semua di atas yaitu berbicara terhadap Allah tanpa
ilmu.”
(I’lamul Muwaqqi’in, 1/47).
Firman Allah yang lain:
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116).
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116).
Sebagian salaf berkata:
ليتق أحدكم أن يقول : أحل الله كذا ، وحرم كذا ، فيقول الله له :
كذبت ، لم أحل كذا ، ولم أحرم كذا
“Hendaklah kalian takut
berkata: ‘Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu’, kemudian Allah
berkata kepadamu: ‘Engkau dusta! Aku tidak pernah menghalalkan ini dan
mengharamkan itu!!!’
فلا ينبغي أن يقول لما لا يعلم ورود الوحي المبين بتحليله وتحريمه
أحله الله ورحمه الله لمجرد التقليد أو بالتأويل
Maka tidaklah pantas
seseorang berkata tanpa ilmu tentang halal dan haram, atau berkata ‘Allah telah
menghalalkan dan mengharamkannya’, hanya didasari taqlid (tanpa tahu dalilnya)
dan takwil (penafsiran pribadi)”
(I’lamul Muwaqqi’iin, 1/47)
2.
Berdusta terhadap Rasulullah
Sesungguhnya adanya
kedustaan-kedustaan atas diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sebuah pelanggaran besar terhadap beliau. Orang yang berbuat demikian sama saja
menghalangi manusia dari agama yang haq. Terlebih lagi bagi orang awam yang
selalu menerima apapun yang dikatakan kepada mereka, sekalipun sebenarnya
bertabrakan dengan kaidah agama, tuntunan fithrah dan akal.
Berdusta atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain dengan membuat hadits palsu, berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dan mengerjakannya.
Orang yang berdusta terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diancam
dengan neraka. Bedasarkan hadits-hadits berikut:
Dari Ali bin Abu Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbda:
“Janganlah kalian berbuat
dusta terhadapku, sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku hendaklah ia
masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 106, Muslim no. 1).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang berdusta
atasku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (Mutawatir. HR.
Bukhari no. 107, Muslim no. 3004).
Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata:
“Berdusta atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dosa besar, sedangkan berdusta kepada
selainnya termasuk dosa kecil. Maka tidaklah sama ancaman bagi yang berdusta
atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau.” (Fathul Bari,
1/267).
BOHONG
YANG DIBOLEHKAN
Imam Nawawi berkata:
“Ketahuilah, sesungguhnya
berbohong itu sekalipun asalnya haram, akan tetapi dibolehkan pada beberapa
keadaan dengan syarat-syarat tertentu.”
(al-Adzkar, hal. 325).
Di antara perkara yang
dibolehkan untuk berbohong, antara lain:
1. Untuk
mendamaikan di antara manusia.
Asal bolehnya hal ini,
adalah apa yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Uqbah:
Dari Ummu Kultsum, dia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukanlah termasuk
pembohong orang yang mendamaikan di antara manusia, berniat baik atau berkata
baik.”
(HR. Buhari no. 26920)
2. Ketika
perang
Perang merupakan tipu
muslihat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perang adalah tipu muslihat.”
(HR. Bukhari no. 3030,
Muslim no. 1739).
Imam Ibnul Arabi berkata:
“Bohong ketika perang
adalah pengecualian yang dibolehkan berdasarkan nash, sebagai keringanan bagi
kaum muslimin karena kebutuhan mereka ketika itu.” (Fathul Bari, 6/192, lihat pula
ash-Shahihah, 2/86).
3. Antara
suami istri
Berdasarkan hadits:
Berkata Ummu Kultsum:
“Tidak pernah aku mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga perkara. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidaklah aku anggap seorang itu berbohong apabila
bertujuan mendamaikan di antara manusia, berkata sebuah perkataan tiada lain
kecuali untuk perdamaian; orang yang bohong ketika dalam peperangan; dan suami
yang berbohong kepada istrinya atau istri yang berbohong kepada suaminya.;”
(HR. Abu Dawud no. 4921,
dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 54).
Imam Nawawi berkata:
“Adapun bohong kepada
istri, atau istri bohong kepada suami, maka yang diinginkan adalah menampakkan
kasih sayang dan janji yang tidak mengikat. Adapun bohong yang tujuannya menipu
dengan menahan apa yang wajib ditunaikan atau mengambil yang bukan haknya, maka
hal itu diharamkan menurut kesepakatan kaum muslimin.”
(Syarah Shahih Muslim,
16/121).
Syaikh al-Albani berkata:
“Bukanlah termasuk bohong
yang dibolehkan, apabila suami menjanjikan kepada istrinya yang dia sebenarnya
tidak ingin menepati janji tersebut, atau suami mengabarkan kepada istrinya
bahwa dia telah membeli ini dan itu lebih banyak dari kenyataannya untuk
mencari ridha sang istri. Perkara semacam ini bisa terbongkar, dapat menjadi
sebab cekcok serta prasangka buruk seorang istri kepada suaminya, ini termasuk
kerusakan bukan perbaikan.”
(ash-Shahihah, 1/818).
Demikianlah yang dapat kami
bahas pada edisi kali ini. Untuk memahami lebih luas pembahasan ini silakan
lihat Syarah Shahih Muslim (16/121), al-Adzkar (hal. 324-326), keduanya karya
Imam Nawawi. Akhirul kalam, semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih,
jauh dari kedustaan dan istiqomah menapaki jalan kebenaran. Amiin. Allahu
A’lam.
(Disalin dari Majalah
Al-Furqan, Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006)
—tambahan abu zuhriy—
Apakah
tetap dikatakan berdusta jika tidak memaksudkannya?
Dalam sebuah hadits
disebutkan,
“Marwan mengutus Abdullah
bin Utbah kepada Subai’ah binti Al Harits untuk menanyakan tentang sesuatu yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam fatwakan kepadanya, lalu Subai’ah
menceritakan, bahwa dirinya adalah isteri dari Sa’ad bin Khaulah, kemudian dia
ditinggal mati olehnya pada saat haji Wada’ dan dia termasuk orang yang ikut
serta dalam perang Badar.
Kemudian dia melahirkan
sebelum berlalu masa empat bulan sepuluh hari dari kematian suaminya, lalu dia
bertemu dengan Abu as-Sanaabil -yaitu Ibnu Ba’kak- setelah suci dari nifasnya
dan menggunakan celak.
Kemudian Abu as-Sanaabil
berkata kepadanya,
“Tahanlah dirimu -atau
kalimat yang serupa dengannya-, mungkin kamu menghendaki nikah, sesungguhnya
masa iddahmu adalah empat bulan sepuluh hari dari kematian suamimu.”
(dalam riwayat lain Abu
as-Sanaabil berkata:
“Sepertinya engkau ingin
menyatakan bahwa sudah baa’ah (selesai iddah dan siap menikah), ketahuilah
engkau belum boleh menikah hingga lewat satu dari dua iddah yang terlama…”)
Subai’ah lalu berkata,
“Maka aku menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kepada beliau apa yang telah
dikatakan oleh Abu as-Sanaabil bin Ba’kak.”
(Dalam riwayat lain
Rasulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ
“Abu Sanaabil telah berkata
dusta…”
إِذَا أَتَاكِ أَحَدٌ تَرْضَيْنَهُ فَأْتِينِي بِهِ أَوْ قَالَ
فَأَنْبِئِينِي فَأَخْبَرَهَا أَنَّ عِدَّتَهَا قَدْ انْقَضَتْ
“Jika seseorang yang engkau
sukai datang melamarmu maka datanglah kepadaku atau kabarilah aku, maka
Subai’ah mengabari Nabi bahwa iddahnya sudah lewat.”)
Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
قَدْ حَلَلْتِ حِينَ وَضَعْتِ حَمْلَكِ
“Kamu telah halal untuk
menikah sejak kamu melahirkan kandunganmu.”
(HR. Ahmad. Dishahihkan Al
Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari
dan Muslim)
Syaikh al-’Utsaimin
rahimahullah berkata:
Dusta artinya ucapan atau
khabar yang berlawanan dengan kenyataan/fakta (Waqi’) sedangkan “Benar/Jujur”
adalah berita atau khabar yang sesuai dengan fakta/kenyataan.
Jika ada orang yang berkata
:“Orang itu telah datang hari ini”, padahal orang itu tidak datang maka ini
disebut dusta, meskipun orang itu tidak sengaja mengatakannya.
[Jadi orang boleh saja
disebut "telah BERDUSTA", WALAUPUN TIDAK BERMAKSUD dan TIDAK
MENYENGAJA untuk BERDUSTA,pent].
Kemudian, Syaikh membawakan
hadits diatas sebagai argumen dari pernyataan beliau diatas…
(Lihat Kitab Tafsir Surat
al-Kahfi Syaikh al-Utsaimin; sumber salafyitb)
No comments:
Post a Comment