Oleh
Ustadz Abu Minhal
Marilah kita sekali lagi mengingat-ingat kewajiban kita
di dunia ini untuk beramal shaleh dan menjauhi segala larangan Allâh Azza wa
Jalla. Itulah wujud ketakwaan seorang hamba yang nantinya akan mengantarkan
dirinya kepada keselamatan biidznillah. Mengapa perlu ditekankan persoalan ini?
Sebab, belakangan ini banyak peristiwa yang menyita perhatian umat –padahal
tidak penting bagi dunia maupun agama mereka- sehingga membuat mereka lalai
dari kewajiban ini.
Atas dasar itu, marilah kita merenungi firman Allâh Azza
wa Jalla berikut ini:
مَّنۡ عَمِلَ صَـٰلِحً۬ا فَلِنَفۡسِهِۦۖ
وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَاۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّـٰمٍ۬ لِّلۡعَبِيدِ (٤٦)
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka
(dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya
hamba-hamba(Nya) [Fushshilat/41:46]
Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa amal shaleh yang
dikerjakan oleh seorang manusia yaitu keimanan dan ketaatannya kepada Allâh
Azza wa Jalla , pada hakekatnya orang yang melakukannyalah yang memperoleh
manfaat positifnya secara langsung, bukan orang lain. Selain mendapatkan pahala
dan meningkatkan keimanan, amal shaleh itu juga kian mendekatkan dirinya kepada
Rabbnya, jalan menguatkan penghambaan dirinya kepada-Nya dan menjadi perbekalan
terbaik di akherat kelak saat kekayaan dan keturunan tidak berguna sama sekali
untuk menyelamatkan seseorang dari siksa Allâh Azza wa Jalla yang sangat pedih.
Dengan itu, ia akan memperoleh balasan berupa surga dan selamat dari neraka.
Imam Ulama tafsir, Imam ath-Thabari rahimahullah
mengatakan bahwa maksudnya adalah orang yang menjalankan ketaatan kepada Allâh
Azza wa Jalla di dunia dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya,
maka sebenarnya ia sedang berbuat baik bagi dirinya sendiri. Sebab dialah yang
mendapatkan balasan, sehingga di akherat nanti berhak mendapatkan surga dari
Allâh Azza wa Jalla dan selamat dari neraka [1]
Hal ini juga telah difirmankan Allâh Azza wa Jalla dalam
ayat-ayat lain. Di antaranya:
وَمَنۡ عَمِلَ صَـٰلِحً۬ا فَلِأَنفُسِہِمۡ
يَمۡهَدُونَ (٤٤)
Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka
sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan) [ar-Rûm/30:44]
ۖ
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ
Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri [an-Naml/27:40]
Amal shaleh yang tertera dalam ayat, disyaratkan harus
sejalan dengan ketentuan dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Tidak setiap amalan merupakan amal shaleh. Demikian pula amal-amal yang
dianggap baik oleh sebagian orang (kelompok, golongan) dan kemudian
dikait-kaitkan dengan ajaran Islam, padahal tidak ada panduan khusus sama
sekali dalam Islam, ini pun bukan amal shaleh. Akan tetapi merupakan perkara
baru dalam agama yang lazim disebut dengan bid'ah. Tentang ini, Syaikh as-Sa'di
rahimahullah menekankan, "(Yang dimaksud amal shaleh) yaitu amal yang
diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya".[2]
Ketepatan amal dengan perintah Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya tidak bisa ditawar-tawar. Sebab, hal itu berpengaruh kuat dalam
diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang. Amal ibadah yang diterima mesti
memenuhi dua syarat: ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dan mengikuti panduan
dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Jika amal shaleh akan berguna bagi pelakunya, sebaliknya
amal perbuatan jelek pun pelakunya lah yang pertama dan utama menanggung beban
tindakan buruknya itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن يَكۡسِبۡ إِثۡمً۬ا فَإِنَّمَا
يَكۡسِبُهُ ۥ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا (١١١)
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia
mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ /4:111]
Pada ayat yang lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَن كَفَرَ فَعَلَيۡهِ كُفۡرُهُ ۥۖ
Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang
menanggung (akibat) kekafirannya itu [ar-Rûm/30:44]
Balasan buruk tidak hanya dirasakan di akherat kelak,
tempat yang Allah jadikan sebagai tempat membalas seluruh amalan para hamba,
namun juga menimpa pelakunya di dunia. Ini menyangkut seluruh perbuatan dosa,
baik dosa besar maupun kecil. Barang siapa berbuat keburukan (dosa), maka
dirinyalah yang memikul hukuman dari kesalahan dan dosanya di dunia dan akherat
, bukan tanggungan orang lain.
Allâh Azza wa Jalla tidak merugi bila seluruh manusia
tidak taat kepada-Nya. Begitu pula, sebaliknya, keimanan, ketaatan dan ibadah
seluruh umat manusia tidak memberi manfaat sedikit pun bagi Allah Yang Maha
Kaya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ۬ قَدۡ
خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ
عَلَىٰٓ أَعۡقَـٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ
شَيۡـًٔ۬اۗ وَسَيَجۡزِى ٱللَّهُ ٱلشَّـٰڪِرِينَ (١٤٤)
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun;
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur [Ali
'Imraan/3:144]
Pada hadits qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
Wahai hamba-Ku kamu tidak akan sanggup membahayakan-Ku
dan tidak sanggup memberi manfaat kepada-Ku [HR. Muslim]
Jelas sudah, kekuasaan dan keagungan Allâh Azza wa Jalla
tidak mengalami penyusutan akibat ketidakpatuhan, kekufuran maupun perbuatan
maksiat manusia kepada Allâh Azza wa Jalla . Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla
mencintai hamba-hamba-Nya yang taat dan bertakwa kepada-Nya dan benci bila
mereka berbuat maksiat dan kekufuran.[3]
إِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ
عَنكُمۡۖ وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ
لَكُمۡۗ
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan
(iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu
bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu [az-Zumar/39:7]
Dari sini bisa diketahui kesalahan orang-orang yang
enggan beribadah dan taat kepada Allah dengan berbagai dalih dan alasan. Ketika
rezeki tetap seret, lowongan pekerjaan tak juga kunjung datang, warung masih
saja sepi pembeli, usaha tidak maju-maju, akhirnya shalat lima waktu ditinggalkan.
Ia berdalih, shalat nggak shalat sama saja, rezeki tetap saja seret.
Naûdzubillâh min dzâlik!
Allâh Ta'ala Yang Maha Adil, menafikan sifat kezhaliman
dari dzat-Nya baik dalam skala kecil dan besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
Dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya
hamba-hamba(Nya)
Sifat kezhaliman, siapapun yang melakukannya adalah
tercela. Karena merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan mengandung
unsur melampaui batas dan penganiayaan terhadap pihak lain. Atas dasar itulah,
Allâh Azza wa Jalla tidak menyiksa seseorang kecuali dengan dosa (yang telah ia
perbuat) di dunia ini atau karena ada faktor yang menyebabkan seseorang pantas
menerima siksaan-Nya, tidak membebaninya dengan kesalahan dan dosa orang lain.
Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyiksa seseorang pun kecuali telah ditegakkan
hujjah di hadapannya dan diutus para rasul kepadanya.[4]
Maha Suci Allâh Azza wa Jalla , Rabb yang Maha Agung yang
berhak diibadahi, diagungkan dan dibesarkan. Sebab, kalau berkehendak, maka
Allâh Azza wa Jalla bisa saja berbuat zhalim yang tidak akan ada seorang pun
yang dapat menanghalanginya. Namun, Allâh Azza wa Jalla menyatakan dzat-Nya
bersih dari sifat yang sangat tidak terpuji ini. Maka kewajiban seorang Muslim
mensucikan dzat-Nya dari sifat kezhaliman dan meyakini bahwa Allâh adalah Dzat
Yang Maha Bijak lagi Maha Adil dalam perkara yang Dia perintahkan dan larang
[5]. Dan sekaligus selalu berusaha menghindari perbuatan kezhaliman.
PELAJARAN DARI AYAT
1. Perintah untuk berbuat baik
2. Amal shaleh bermanfaat bagi para pelakunya
3. Perbuatan buruk menjadi tanggungan pelakunya
4. Keharusan menahan diri dan meninggalkan buruk
(maksiat)
5. Seseorang tidak menanggung dosa orang lain
6. Allâh Maha Suci dari sifat kezhaliman
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Tafsir ath-Thabari 24/159
[2]. At-Taisîr hlm. 822
[3]. Qawâid wa Fawâid minal Arba'în an-Nawawiyyah hlm.
218
[4]. Silahkan lihat Tafsir ath-Thabari 24/159, Tafsir
Ibnu Katsir 7/185, Tafsîr Sa'di hlm. 822
[5]. Qawâid wa Fawâid minal Arba'în an-Nawawiyyah hlm.
215